BAB I
PEMBUKAAN
A.
Latar Belakang
Pembaharuan
pemikiran dalam dunia islam secara metologis merupakan usaha para pemikir dan
ulama untuk memahami ajaran islam dengan mempergunakan usaha para pemikir dan
ulama untuk memahami ajaran islam dengan mempergunakan segenap kemampuan
kemanusiannya sebagai dianugrahkan Allah. Usaha pemikiran tersebut kemudian
dikaitkan dengan berbagai perkembangan sosial budaya yang sedang berkembang
dalam usaha untuk mencari penyelesaian dan mengatasi persoalan di dalam
kehidupan kemasyarakatan yang sedang dihadapi.
Hasil
pemikiran yang dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh tersebut, kemudian
melahirkan berbagai gerakan pembaharuan yang merupakan opresionalisasi dan
pelaksanaanj dari hasil pemahaman dan pemikirannya terhadap ajaran islam di
indonesia lahir beberapa organisasi atau gerakan islam, diantaranya adalah
Muhamadiyah yang lebih dari 30 tahun sebelum merdeka dan organisasi lainnya
yang bergerak di bidang politik soaial dan pendidikan.
Muhamadiyah
adalah organisasi yang berdiri bersamaan dengan kebangkitan masyarakat islam
indonesia pada pekade pertama yang sampai hari ini bertahan dan membesar yang
sulit di cari persepadanannya. Jika dilihat dari amal usaha dan gerakan
muhamadiyah di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya di bidang pendidikan dan
kesehatan, maka muhamadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang terbesar
di indonesia, bahkan banyak kalangan menyebutkan sebagai terbesar di seluruh
dunia.
Demikian
pula dalam berbagai hal yang menyangkut amal usaha dan konseptualisasi
nilai-nilai islam secara kotekstual. Dengan usaha Muhamadiyah yang terakhir
itu, nilai-nilai ajaran islam dapat dirasakan oleh masyarakat menjadi lebih
dekat dan akrab dengan permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian muhammadiyah ?
2. Apa faktor dan tujuan muhammadiyah ?
3. Bagaimana kehidupan Warga Islami Muhamadiyah ?
4. Apa tujuan Muhamadiyah ?
5. Apa Identitas muhamadiyah ?
6.
Tujuan
1. Mengetahui
apa pengertian muhammadiyah
2. Faktor-faktor
dan tujuan muhammadiyah
3. Kehidupan
Warga Islami Muhamadiyah
4. Tujuan
Muhamadiyah
5. Identitas
muhamadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah
Bulan
Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam
modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan
pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di
dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan
berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota
santri Kauman Yogyakarta.
Muhammadiyah berasal dari kata ”Muhammadiyah”
secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah”
dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H.Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut:
”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu
ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam.
Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang
ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat
menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran
Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan
bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada
awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran
dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi
pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang
kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di
Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru
Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta
interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para
pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri
Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide
dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah
organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil
interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan
masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo.
Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di
Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara
ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan
pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh
suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan
Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada
mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang
bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian
diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34).
Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas
yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi
Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan
Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk
mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang
didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan
dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang
mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam
tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman
Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah
agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat
Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan,
dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan
cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah
bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah
sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan
pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten
Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang
kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.
Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan
ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal
Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun
lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.
Sedangkan maksudnya Artikel 2, ialah: a. menyebarkan pengajaran agama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada
penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal agama kepada anggauta-anggautanya.”
Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan”
(dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud
dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam
”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni:
Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun
1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini
yaitu:
1.
Memajukan
dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
2.
Dan
Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama
Islam kepada lid-lidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma,
kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas.
Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak
mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap
dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat
Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk
mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal
Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga
terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya
Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat,
”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah
Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar
Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943,
1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005.
Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi
tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan
dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam
diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud
dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah
Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun
2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana
digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan
sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada
Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad
untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan
perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari.
Kyai Dahlan bertipikal yang
khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi
aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran
Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang
aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang
merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31)
menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid,
K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam
bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap
ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam
ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat
”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran
agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai
Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan
”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu
hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36).
Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan
perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren
kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan
menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.
Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak
pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi terpelajar Muslim, yang
jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain,
karena konteksnya berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai
Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan
pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling monumental
dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian
melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini
dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena
Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min
Allah” (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam
memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal”
yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai
bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat
Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang
cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka
dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya
kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan
kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat
Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang
inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini
misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di
masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang
menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis
gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai
agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di
masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan
kaum perempuan.
Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai
Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad
Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan
sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran
perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid,
padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan
”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran
Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni
yang berkemajuan.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang
didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah menampilkan Islam
sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala seginya”. Artinya, secara
Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah
semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat
dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam
akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup
para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan
dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh
sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu
harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah,
tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan
menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir
teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan
tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan
hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang
sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus
mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat
Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak
dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah
tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu
sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan?
sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa
model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur,
tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan
Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai
masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan
cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan
atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat
Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara
lain:
1.
Umat Islam
tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak
merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam
tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi.
2.
Ketiadaan
persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3.
Kegagalan
dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader
Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman.
4.
Umat Islam
kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta
berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan
tradisionalisme.
5.
dan Karena
keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta
berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di
Indonesia
yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat (Junus Salam, 1968: 33).
Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan
tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang tertulis lengkap dan tajdid
Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang terlampau akademik
tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai
Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam
konteks amannya sungguh merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat
ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan
hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang
didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan
pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan
dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut pandangan
James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis
penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad
sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan
cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan
pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur.
Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah
pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa
gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah.
Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang
tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang
terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara.
Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran
Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di
bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan,
rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan
Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan,
pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi
wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia.
Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di
negara terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang
melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara
sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan
masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui
Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan
berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat
Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan.
Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik
dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah
Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia
dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari
kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan
itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem
organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan
waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih
mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran
kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan
fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh
Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita
Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi
dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga
didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran
para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”,
bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu
menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis
sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104,
yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam,
menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an
tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104
tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi”
yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar
Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni
itu sekadar dipahami secara parsial.
Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan
dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan
“humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi”
(pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai
agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau
Modernisme Islam di indonesia.
B.
Pengertian Muhammadiyah
Perserikatan
muhamadiyah sudah dikenal luas sejak beberapa puluh tahun yang lalu oleh
masyarakat internasional. Khususnya oleh masyarakat ‘alam lalami. Adapun arti
nama muhammadiyah dapat dilihat dari dua segi, yaitu arti bahasa atau timologis
dan arti istilah atau terminologis.
1. Pengertian Secara Estimologis
Muhamadiyah
berasal dari kata bahasa arab “Muhammad” yaitu nabi atau rosul yang terakhir.
Kemudian mendapatkan “ya nisbah” yang artinya menjeniskan. Jadi muhammadiyah
berarti umatnya Muhammad atau pengikut Muhamad. Yaitu semua orang yang
menyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan pesuruh Alloh yang terakhir. Dengan
demikian siapapun yang beragama islam maka dia adalah orang muhammadiyah, tanpa
dilihat atau dibatasi oleh perbedaan organisasi, golongan bangsa, geografis,
etnis, dsbt
2. Pengertian Secara Terminologis
Muhamadiyah
adalah gerakan islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasas islam dan
bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah yang didirikan oleh KHA.
C. Kehidupan Warga Islami Muhamadiyah
1.
Dalam
Aqidah
Setiap warga Muhammadiyah
harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid kepada Allah SWT
yang benar, ikhlas dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai Ibad ar-Rahman yang menjalani
kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin dan muhsin yang
paripurna dan wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan
hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu serta tetap
menjauhi untuk menolak syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat yang menodai iman
dan tauhid kepada Allah SWT.
2.
Dalam
Akhlak.
2.1 Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku
Nabi dalam mempraktekkan akhlak mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang diteladani
oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh dan fathonah.
2.2 Di dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus senantiasa
didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal shaleh dan ihsan serta
menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishaf,
fasad, fahsya’ dan kemungkaran.
2.3 Selalu dituntut untuk menunjukkan akhlak yang mulia (akhlakul karimah) sehingga
disukai/diteladani dan mejauhkan diri dari akhlak yang tercela (akhlak Mazmumah) yang
menyebabkan dibenci dan dijauhi sesama.
2.4 Setiap warga Muhammadiyah dimanapun bekerja dan menuaikan
tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari
perbuatan korupsi, kolusi sert apraktik-praktik buruk lainnya yang merugikan
hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan didunia.
3.
Dalam
Ibadah.
3.1 Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa
membersihkan jiwa/hati kearah terbentuknya pribadi yang muttaqin dengan
beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yangburuk, sehingga
terpancar kepribadian yangsaleh yang menghadirkan kedaimaian dan kemanfaatan
bagi diri dan sesamanya.
3.2 Dianjurkan bagi warga Muhammadiyah dalam melaksanakan ibadah
mahdah dengan sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafi (ibadah sunnah)
sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang kokoh,
ilmu yang luas dan amal saleh yang tulus sehingga tercermin dalam kepribadian
dan tingkah laku yang terpuji.
4.
Dalam
Muamalah Duniawiyah
4.1 Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya
sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi
kehidupan dunia secara aktif dan poisitif serta tidak menjauhkan diri dari
pergumulan kehidupan dengan landasan iman, islam dan ihsandalam arti berakhlak
karimah.
4.2 Senantiasa berfikir secara burhani,
bayani dan irfani yang mencerminkan cara berfikir yang Islami yang
dapat membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan
keterpaduan antara orientasi habluminallah
dan habluminannas serta
maslahat bagi kehidupan umat manusia.
4.3 Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja Islam,
seperti : Kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakanwaktu, berusaha secara
maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan.
Dengan mempunyai sikap pribadi yang baik bagi
warga Muhamadiyah dalam hal Akidah, Akhlak, ibadah dan Muamalah Duniawiyah yang
telah menjadikan landasan sebagai Pedoman Hidup Islami Warga Muhammmadiyah maka
bukan berarti tidak mungkin kehidupan-kehidupan yang lain juga akan tercermin
kebaikan dan kemulyaan, seperti halnya :
1.
Kehidupan
dalam keluarga
2.
Kehidupan
bermasyarakat
3.
Kehidupan
berorganisasi
4.
Kehidupan
dalam mengelola amal usaha Muahammadiyah
5.
Kehidupan
dalam mengembangkan profesi
6.
Kehidupan
dalam berbangsa dan bernegara
7.
Kehidupan
dalam melestarikan lingkungan
8.
Kehidupan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
9.
Kehidupan
dalam seni dan budaya
10.
dan kehidupan-kehidupan yang lain.
Apabila seluruh segi kehidupan itu
sudah menunjukkan kepribadian Muhammadiyah yang berazaskan pada Al Qur’an dan
As Sunnah maka secara otomatis tujuan kelembagaan secara persyarikatan juga
terpenuhi, yang tidak lain adalah menunjukkan keteladanan yang baik (uswah hasanah) menuju
terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menjadikan Rahmatan Lilalamin rahmat bagi semesta alam serta untuk
pencerahan bangsa (Baldatun
Toyyibatun Warobbun Ghofur).
7.
Tujuan Muhamadiyah
1.
Membersihkan
Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam.
2.
Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan
pendidikan Islam.
3.
Mempertahankan
Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto &
Haedar Nashir, 1990: 332).
8. Identitas
Muhamadiyah
1.
Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah
jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena
diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al Qur'an. Dan apa yang
digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk
merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riel dan
kongkrit.
2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam,
Amar Ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan
tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Namun sudah menjadi
tanggung jawab Muhammadiyah juga sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi
mungkar untuk meluruskan kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang
sesuai dengan cita-cita pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat
agama Islam dan keterbelakangan atau kebodohan massif.
Tidak hanya ranah pemahaman agama yang
diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi
Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi kemasyarakatan.
3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid
(Reformasi)
Ciri ketiga ini yang melekat pada
persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau pembaharu.
Apabila dari makna dalam segi bahasa Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi
istilah tajdid memiliki dua arti yakni :
3.1
Pemurnian
Tugas/PR
pertama Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang
mulai terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah.
3.2
Peningkatan, pengembangna,
modernisasi
Peningkatan, pengembangna, modernisasi sudah menjadi tugas
Muhammadiyah bila “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan
ajaran Islam yang berdasarkan sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahih. Sedangkan arti “Peningkatan, pengembangan, modernisasi” tajdid
dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan
tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an dan AS Sunnah shahih. Di samping itu
ternyata bila diamati Muhammadiyah mempunyai PR untuk menjawab tantangan zaman
dan arus globalisasi yang terus melaju.
Peningkatan, pengembangan, modernisasi tak melenceng dari awal pemberdayan pemikiran sang pendiri
Muhammadiyah maka sebagai tantangan zaman tugas/PR kedua Muhammadiyah adalah
meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah maupun amal usaha
Muhammadiyah. Dan mengembangkan serta melebarkan sayap Muhammadiyah dalam
penerimaan arus informasi global sebagai tameng kebodohan massif Muhammadiyah.
Modernisasi
Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan dasar pemikiran pertama kali
berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat up to date bukan berarti berganti baju untuk
beridentitas ideologi baru namun Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan
zaman atau kuno tertinggal arus modernisasi.
BAB III
PENUTUP
Persyarikatan Muhammadiyah merupakan amanat umat yang
didirikan dan dirintis oleh KH Ahmad Dahlan untuk kepentingan menjunjung tinggi
dan menegakkan Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, karena itu menjadi tanggung jawab seluruh warga untuk
benar-benar menjadikan organisasi/persyarikakan ini sebagai gerakan dakwah
Islam yang kuat dan unggul dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai landasan
didalam melakukan gerakan da’wah organisasi/ persyarikatan adalah Al
Qur’an dan As Sunah Nabi serta AD dan ART organisasi.
Muhammadiyah sebagai gerakan yang memiliki ajaran Islam
yang komprehensif, sistem organisai yang kuat dan luas (jama’ah, jami’ah dan
imamah) dan pengaruh yang cukup besar di masyarakat, merupakan kekuatan
ideologis yang diperhitungkan. Muhammadiyah secara tidak langsung telah tumbuh
menjadi ideologi gerakan islam yang mapan di Indonesia. Dalam sejumlah hal
Muhammadiyah bersifat ideologis, yakni sebagai sistem paham untuk mengubah
kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan
nilai-nilai ajaran Islam yang diyakini dan difahami. Sejauh Muhammadiyah dengan
sistem gerakannya itu tetap bersikap tajdid, berkualitas dan selalu berdakwah
untuk melahirkan rahmatan lilalamin rahmat
bagi semesta alam yang berdasarkan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an
dan Sunah Nabi, maka keberadaannya akan tetap menjadi kekuatan Islam yang
bermakna bagi umat, masyarakat, bangsa dan dunia kemanusiaan.
Hal yang paling penting dilakukan bahwa pemikiran
ideologis atau aspek ideologi di tubuh Muhammadiyah tetap diposisikan secara
wajar terutama sebagai bingkai pengukuh solidaritas kolektif dan kekuatan
potensial untuk mengerakkan umat secara terorganisasi rapih dalam satu sistem
perjuangan yang kokoh menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebar-benarnya
sebagimana tujuan Muhammadiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, CST
dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan
Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Pringgodigdo,
A. K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Suara
Muhammadiayah. 1 – 15 Januari 2005. Agama yang Membebaskan.
Tim
Penyusun. 1977. 30 Tahun Indonesia
Merdeka. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI.
Tim
Penyusun, 1990. Ensiklopedi Nasional
Indonesia. Jakarta: Cipta Adi Karya.
http//:www.suara-muahammadiyah.or.id