BAB II
MENULIS PUISI BEBAS MENGGUNAKAN TEKNIK PERMAINAN AKROSTIK DENGAN MODEL
KOOPERATIF TIPE TAI
A.
Keterampilan
Menulis
1.
Pengertian
Menulis
Menulis adalah suatu keterampilan yang produktif
untuk melahirkan atau menghasilkan tulisan yang berisi gagasan. Pada dasarnya
setiap insan memiliki kemampuan untuk menulis, namun tidak semua orang dapat
mengembangkan tulisan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008, hlm. 497) menulis adalah “melahirkan pikiran atau
perasaan seperti mengarang, membuat surat dengan tulisan, roman, mengarang
cerita, membuat surat, berkirim surat, menggambar, menulis, dan lain-lain”.
Sementara itu, menulis menurut Tarigan (2008, hlm. 22) adalah “menurunkan atau
melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami
oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang grafik tersebut
apabila mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu”. Sepaham dengan pendapat Tarigan (2008), pengertian
menulis menurut Santosa (2012, hlm. 31)
adalah “suatu proses berpikir
dan menuangkan pemikiran itu sendiri ke dalam bentuk wacana”.
Dari beberapa pengertian sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa menulis ialah kegiatan melukiskan pikiran atau perasaan
melalui lambang grafik, simbol-simbol
yang dapat dipahami sesorang ke dalam bentuk wacana. Menulis adalah suatu
keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak
langsung, yang
bertujuan untuk menuangkan ide, gagasan, pikiran dalam bahasa tulisan.
2.
Menulis
sebagai Keterampilan Berbahasa
Seperti dipaparkan sebelumnya
bahwa menulis merupakan suatu keterampilan
berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Sebagai
sebuah keterampilan berbahasa, menulis berkaitan dengan keterampilan-keterampilan berbahasa
yang lain, yaitu menyimak, berbicara, dan membaca. Komponen yang harus dikuasai
untuk dapat menulis dengan baik,
sama dengan komponen yang harus dikuasai untuk berbicara dengan baik, yaitu:
struktur bahasa, kosa kata, dan kelancaran. Letak perbedaannya adalah menulis
merupakan komunikasi tidak langsung, sedangkan berbicara adalah komunikasi
langsung.
Menulis juga memegang peranan penting
dalam pendidikan, antara lain melatih berpikir kritis, memperkuat daya
tangkap, membantu memecahkan masalah, membantu menyusun urutan pengalaman, dan
membantu mengungkapkan pikiran atau ide. Hartig (dalam Tarigan, 2008, hlm. 24-25) mengemukakan ada
beberapa tujuan menulis, yaitu:
(1) Assignment purpose, yaitu menulis
sesuatu karena ditugaskan. Misalnya, siswa yang diberi tugas merangkum bacaan;
(2) Altruistic purpose, yaitu menulis
untuk menyenangkan pembaca dan membantu pembaca memahami dan menghargai
perasaannya; (3) Persuasive purpose,
yaitu menulis untuk meyakinkan pembaca tentang kebenaran gagasan yang
disampaikan; (4) Informational purpose, yaitu
menulis untuk memberi informasi kepada pembaca; (5) Self-expressive purpose, yaitu menulis untuk menunjukkan eksistensi
diri kepada pembaca; (6) Creative purpose,
yaitu menulis untuk mewujudkan kreativitas dan nilai seninya; (7) Problem solving purpose, yaitu menulis
untuk menjelaskan dan meneliti gagasan-gagasannya secara cermat, agar dapat
dimengerti dan diterima oleh pembaca.
Dari
paparan di atas, dapat dijelaskan bahwa menulis merupakan salah satu bagian
dari keterampilan seseorang dalam menggunakan bahasa melalui simbol-simbol,
lambang-lambang, grafik atau lainnya yang dapat dipahami dan dimengerti oleh
orang lain sebagai pembaca.
3.
Menulis Puisi
a.
Pengertian
Puisi
Untuk dapat memahami, menulis,
menikmati, dan menghargai karya-karya puisi dengan baik perlu dikuasai sejumlah
pengertian. Banyak tokoh sastra yang mendefinisikan puisi, tapi sampai saat ini
belum ada satu definisi yang baku. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang
selalu terjadi dalam sejarah perkembangan puisi. Berikut ini akan diungkapkan
beberapa pengertian puisi.
Waluyo (2005, hlm. 1) mendefinikan puisi adalah “karya sastra dengan
bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu
dan pemilihan kata-kata kias atau imajinatif. Walaupun singkat atau padat,
puisi berkekuatan”.
Pendapat tersebut senada dengan Wirjosoedarmo (dalam Pradopo, 2012, hlm. 3) menjelaskan bahwa “puisi merupakan
karangan terikat oleh banyak baris dalam tiap bait, banyak kata dalam tiap
baris, banyak suku dalam tiap baris, rima dan irama”.
Depdiknas (2007, hlm. 13) memberikan batasan puisi sebagai berikut:
Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya
terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait serta gubahan
dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan
khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.
Berdasarkan pengertian puisi di atas, dapat dikemukakan bahwa
puisi merupakan ragam karya sastra yang bahasanya dipadatkan, dipersingkat, dan
diberi irama dengan bunyi yang padu terikat oleh irama, matra, rima yang mempunyai
keindahan dan kekuatan makna dalam pilihan kata-katanya. Puisi merupakan
tulisan yang berisi perwujudan atau pengungkapan perasaan melalui katakata
dengan makna yang tersirat. Itulah yang membedakan antara puisi dengan tulisan
lainnya.
b.
Unsur-Unsur
Pembangun
Puisi
Waluyo (2005, hlm. 27) menjelaskan tentang unsur-unsur pembangun dalam
puisi terdapat struktur fisik yang berupa bahasa dan struktur batin atau
struktur makna. Struktur fisik terdiri atas unsur-unsur diksi, pengimajian,
kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, tata wajah/tipografi,
serta amanat atau pesan. Adapun unsur batin puisi terdiri atas tema, nada dan
suasana, perasaan, dan amanat.
Hal serupa dikemukakan oleh Jabrohim,
dkk. (2009, hlm. 34), unsur pembangun puisi
ada dua, yakni unsur fisik dan unsur batin:
Unsur
fisik terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas (meliputi lambang
dan kiasan), versifikasi (meliputi rima, irama, dan metrum), bahasa figuratif,
tipografi, dan sarana retorika, sedangkan struktur batin puisi terdiri atas
tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat atau pesan yang terkandung dalam
puisi.
Dengan demikian, dari kedua pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa yang termasuk unsur fisik puisi adalah diksi,
pengimajian, kata konkret, majas (meliputi lambang dan kiasan), versifikasi
(meliputi rima, irama, dan metrum), bahasa figuratif, tipografi, dan sarana
retorika, sedangkan struktur batin puisi terdiri atas tema, perasaan, nada dan
suasana, serta amanat atau pesan yang terkandung dalam puisi.
1) Diksi
Zulfahnur, dkk. (1996, hlm. 82) mendefinisikan
diksi sebagai “pilihan
kata yang dipergunakan penyair dalam membangun puisinya”. Dengan diksi yang
tepat maka kekuatan puisi akan tampak. Pada dasarnya makna dan keindahan puisi
dibangun oleh seni kata yang merupakan ekspresi pengalaman jiwa yang
diungkapkan melalui kata.
Jabrohim, dkk. (2009, hlm. 35) mengemukakan bahwa “diksi merupakan pilihan
kata”. Ada dua simpulan
penting dalam diksi. Pertama, diksi atau pilihan kata adalah kemampuan
membedakan secara tepat sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Kedua, diksi atau pilihan kata hanya
dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata bahasa itu.
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa diksi merupakan pilihan kata yang tepat yang dipergunakan
penyair/penulis untuk menulis puisi.
2) Pengimajian
Waluyo (2005, hlm. 10) mengatakan bahwa “pengimajian adalah kata
atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris,
pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi mengandung gema suara (imaji
auditif), benda yang nampak (imaji visual), dan sesuatu yang dapat kita
rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil)”.
Menurut Jabrohim,
dkk. (2009, hlm. 36) segala sesuatu yang berkaitan dengan citra ataupun citraan dinamakan pencitraan atau
pengimajian. Oleh Jabrohim citraan dianggap sebagai
sarana utama untuk mencapai kepuitisan. Kepuitisan
yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menarik perhatian, keaslian
ucapan, sesuatu yang menimbulkan perasaan kuat, membuat sugesti yang jelas, dan menghidupkan pikiran.
Dari paparan pengimajian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengimajian adalah suatu gambaran pengalaman indera secara nyata
dituangkan lewat kata. Dengan adanya gambaran tersebut kita seolah-olah dapat
melihat dan mendengar sesuatu yang nyata.
3) Kata
Konkret
Menurut Jabrohim, dkk. (2009, hlm. 41) kata konkret adalah
kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau
suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca. Dalam hal ini penyair
berusaha untuk mengkonkretkan kata-kata agar dapat menyaran pada arti yang
menyeluruh. Selain itu, Waluyo (2005,
hlm. 9) menambahkan bahwa “dengan kata yang dibuat
konkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang
dilukiskan penyair”.
4) Majas
dan Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif disebut pula majas atau
bahasa kiasan adalah bahasa yang digunakan untuk mengatakan sesuatu yang tidak
dapat mengungkapkan
makna secara langsung (Waluyo,
2005, hlm. 83). Bahasa figuratif
ini dipandang lebih efektif untuk menyampaikan apa yang dimaksud oleh penyair.
Perrine (dalam Waluyo, 2005, hlm. 83) menyatakan
bahwa:
Bahasa
figuratif penting karena (1) bahasa figuratif mampu menghasilkan
kesenangan imajinatif, (2) bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan
tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadi puisi
lebih nikmat dibaca, (3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas
perasaan penyair untuk puisinya dan menyampiakan sikap penyair, dan (4) bahasa
figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang banyak dan luas
dengan bahasa yang singkat.
Dengan demikian dapat dijelaskan
pula bahwa pemakaian majas maupun bahasa figuratif dalam sebuah puisi akan
lebih mampu menyampaikan maksud dan tujuan dari sebuah puisi. Selain itu,
penggunaan makna kias akan lebih memberi kesan dan perasaan estetis berbahasa.
5) Versifikasi
Menurut Jabrohim, dkk. (2009, hlm. 53) versifikasi
meliputi rima, irama, dan metrum. Rima merupakan pengulangan bunyi di dalam
baris atau larik puisi
pada akhir baris, atau bahkan juga pada keseluruhan baris pada bait puisi.
Irama atau rima yaitu naik turun, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi
bahasa dengan teratur. Metrum adalah irama yang tetap menurut pola tertentu.
Rima adalah istilah lain untuk
persajakan atau persamaan bunyi. Irama atau yang sering disebut juga ritme
adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lembut, atau cepat lambatnya kata
atau baris-baris suatu puisi bila puisi itu dibaca. Baik rima maupun irama
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menghidupkan suatu puisi. Kedua
unsur tersebut baik nada maupun suasana yang hendak digambarkan oleh penyair
dapat terciptakan lebih nyata dan karenanya lebih mudah pula ditangkap atau
dibayangkan oleh pembaca (Suharianto,
2005, hlm. 45).
6) Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang paling
awal terlihat ketika membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim,
dkk. 2009, hlm. 54). Menurut Suharianto
(2005, hlm. 35), “tipografi disebut juga
ukiran bentuk, yaitu susunan baris-baris atau bait-bait suatu puisi. Termasuk
dalam tipografi adalah penggunaan huruf-huruf untuk menuliskan kata-kata suatu
ataupun penggunaan tanda baca”.
7) Sarana
Retorika
Menurut Jabrohim, dkk. (2009, hlm. 57) sarana retorika
adalah muslihat pikiran. Maksud dari muslihat pikiran yang diungkapkan Jabrohim
ini berupa bahasa yang tersusun untuk mengajak pembaca berpikir. Sarana
retorika ini berbeda dengan bahasa figuratif dan citraan. Bahasa figuratif dan
citraan bertujuan untuk memperjelas gambaran atau mengkonkretkan sesuatu
melalui perbandingan, sedangkan sarana retorika adalah alat untuk mengajak
pembaca berpikir supaya lebih menghayati gagasan yang dikemukakan.
8) Tema
Waluyo (2005, hlm. 106), tema adalah sebagai “gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan oleh
penyair”. Sedangkan Suharianto (2005, hlm. 38) menyatakan bahwa “seperti halnya karya
sastra prosa, fungsi puisi juga merupakan media untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan pengarangnya”.
Dengan demikian puisi mempunyai tema atau pokok permasalahan. Tema
dalam puisi dinyatakan secara tersirat, karena puisi pada umumnya menggunakan
kata-kata kias atau perlambangan. Untuk itu diperlukan kecerdasan dan kejelian
pembaca untuk menafsirkan kiasan-kiasan
atau perlambang-perlambang yang dipergunakan penyair.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa tema merupakan sebuah acuan bagi pengarang sebelum membuat puisi. Tema
sangatlah penting untuk membantu pengarang dalam menentukan puisi yang akan
dibuat dan membantu mengembangkannya tujuan dari puisi tersebut.
9) Perasaan
Waluyo (2005, hlm. 50) mengemukakan bahwa perasaan
atau feeling dalam puisi adalah
perasaan yang disampaikan penyair melalui puisinya. Puisi mengungkapkan
perasaan yang beraneka ragam, misalnya perasaan sedih, kecewa, terharu, benci,
rindu, cinta, kagum, bahagia, ataupun perasaan setia kawan.
10) Nada
dan Suasana
Suasana puisi adalah suasana yang ingin
digambarkan oleh penyair ialah suasana benda-benda, keadaan dan sebagainya yang
ditangkap oleh indra penyair (Suharianto, 2005, hlm. 58-61).
Menurut Waluyo (2005, hlm. 125), nada adalah sikap
penyair kepada pembaca. Ada kalanya penyair ingin bersikap menggurui,
menasihati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu
kepada pembaca. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau akibat
psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada duka yang
diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca.
Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa nada adalah sikap penyair kepada pembaca
sedangkan suasana merupakan suasana yang muncul setelah pembaca membaca karya sastra
yang bersangkutan.
11) Amanat
Jabrohim, dkk. (2009, hlm. 30) menyatakan bahwa
amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat
yang ingin disampaikan penyair tersebut mungkin secara sadar dituangkan dalam
pikiran penyair, namun lebih banyak penyair yang tidak sadar akan amanat yang
diberikan dalam puisinya.
Amanat, pesan, atau nasihat merupakan
kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi (Waluyo, 2005, hlm. 40). Amanat merupakan
apa yang tersirat dibalik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema
yang diungkapkan. Penghayatan terhadap amanat sebuah puisi tidak secara
objektif, namun subjektif, artinya berdasarkan interpretasi pembaca. Amanat
yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema,
rasa, dan nada puisi. Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk
menciptakan puisinya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan
bahwa amanat merupakan makna yang tersirat yang disampaikan penyair dalam
puisinya.
c.
Langkah
Menulis Puisi
Menulis puisi merupakan salah satu
keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Banyak orang menganggap
bahwa menulis puisi merupakan suatu bakat, sehingga orang yang tidak mempunyai
bakat tidak akan bisa menulis puisi. Anggapan seperti ini tidak sepenuhnya
benar. Seseorang bisa saja terampil menulis puisi karena giat belajar dan
berlatih karena sesungguhnya menulis puisi merupakan sebuah keterampilan
(Wiyanto, 2005, hlm. 48).
Langkah pertama yang harus dilakukan
ketika akan menulis puisi yaitu menentukan tema. Tema adalah pokok persoalan
yang akan kita kemukakan dalam bentuk puisi. Tema puisi dapat bervariasi.
Dengan demikian, sekitar kita dan dalam diri kita pun sebenarnya telah siap
sejumlah tema untuk diekspresikan menjadi puisi. Orang yang terbiasa menulis
puisi (penyair) tema yang akan ditulis dalam puisi biasanya muncul dengan
tiba-tiba ketika ia melihat atau mengamati lingkungan sekitarnya. Jika sudah
menentukan tema yang akan ditulis menjadi puisi, langkah kedua yang harus
dilakukan ketika menulis puisi yaitu mengembangkan tema dalam bentuk puisi
dengan memperhatikan pilihan kata dan majas yang sesuai. Pemilihan kata dalam
menulis puisi sangat penting karena baik buruknya puisi ditentukan oleh
pemilihan kata yang tepat. Begitu pentingnya
untuk memanfaatkan kata harus memperhatikan rangkaian kata yang satu dengan
kata yang lain dapat menimbulkan (1) rangkaian bunyi yang merdu, (2) makna yang
dapat menimbulkan makna rasa estetis, dan (3) kepadatan bayangan yang dapat
menimbulkan kesan mendalam. Pemahaman dan kemampuan memilih kata dan
mendayagunakan majas merupakan bekal untuk menulis puisi (Wiyanto, 2005, hlm. 21).
Agar tahapan demi tahapan langkah dalam
menulis puisi di atas dapat dilakukan dengan baik, maka sebelum menulis puisi
perlu adanya motivasi dalam diri atau sikap awal yang harus ditumbuhkan agar
keterampilan menulis puisi dapat berhasil dilakukan adalah (1) harus ada niat
yang kuat. Dengan niat yang kuat kita tidak mudah menyerah ketika menjumpai
berbagai kesulitan sehingga kita akan dapat belajar dan berlatih dengan
sungguh-sungguh agar dapat menguasai keterampilan menulis; (2) belajar dan
berlatih menulis puisi; dan (3) membiasakan diri untuk membaca puisi yang sudah
ada. Pilih puisi yang ditulis oleh penyair yang kita senangi kemudian terapkan
pada tiga N, yaitu niteni, nirokake, dan nambahi. Ungkapan jawa itu berarti
memperhatikan, mengingat-ingat, menirukan, dan menambahkan. Meniru di sini
bukan berarti menjiplak kata demi kata atau kalimat demi kalimat, yang kita
tiru adalah cara menemukan tema, cara memilih kata-kata yang tepat, cara
merangkai kata-kata yang estetis, dan cara mendayagunakan majas dalam puisi
(Wiyanto, 2005, hlm. 56-57).
d.
Aspek-Aspek
Penilaian Menulis Puisi
Dalam menulis puisi, ada unsur-unsur
puisi yang harus diperhatikan ketika
proses penilaian. Menurut Wiyanto (2005,
hlm. 33), unsur-unsur yang dinilai dalam menulis
puisi yaitu:
1)
aspek kesesuaian isi puisi difokuskan pada isi puisi yang ditulis oleh peserta
didik disesuaikan dengan tema, 2) penilaian
diksi difokuskan pada pilihan kata, penggunaan kata konkret, dan majas yang digunakan pada puisi, 3)
penilaian rima difokuskan pada kegunaan rima dalam mendukung makna dan suasana
puisi, dan 4) penilaian tipografi difokuskan pada susunan baris-baris atau
bait-bait dalam puisi yang ditulis peserta didik.
Suharianto (2005, hlm. 38), karya sastra puisi
terdapat tema yang berguna sebagai pokok bahasan, daya bayang (kata kias,
lambang-lambang, dan majas), rima untuk perulangan bunyi dan irama sebagai
tinggi rendah nada, serta tipografi sebagai keindahan visual dan penguat makna. Dengan demikian, aspek
penilaian keterampilan menulis puisi adalah aspek kesesuaian isi, diksi, rima,
dan tipografi.
B.
Teknik
Akrostik
Magee
(2008, hlm. 25) mengemukakan bahwa
akrostik ialah “puisi
yang huruf awal pada tiap barisnya membentuk sebuah kata apabila dibaca secara vertical”. Sedangkan Jingga (2012, hlm. 73) juga menjelaskan
bahwa akrostik adalah “pembuatan
puisi yang mengandung pesan terselubung. Pola rima dan jumlah angka baris dapat
bervariasi dalam akrostik, karena puisi akrostik lebih dari puisi deskriptif
yang mana menjelaskan kata yang dibentuk”.
Sujiman (1990, hlm. 3) memberikan batasan akrostik
adalah “karangan yang tersusun
dalam baris-baris
yang huruf-huruf pertama, terakhir, atau yang lain membentuk
sebuah karya, kata, frase, atau kalimat”. Sedangkan bermain akrostik adalah
merupakan suatu permainan
bahasa. Tujuan permainan ini adalah menuliskan satu atau beberapa baris
puisi, tetapi huruf awal
tiap baris diurutkan menjadi nama seseorang, hewan, atau benda
lainnya, sedangkan isi bait menjelaskan
keadaan orang atau benda di depannya. (Muchlishoh, 1991, hlm. 72)
Atas
dasar pendapat di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa teknik bermain akrostik merupakan cara untuk membuat
puisi dengan menitikberatkan pada pengembangan
huruf awal, tengah maupun akhir
tiap-tiap larik. Dengan teknik bermain akrostik pula akan memberi kesan
variatif dalam membuat sebuah puisi.
Teknik
akrostik ini memiliki banyak manfaat diantaranya: (1) Mengarahkan siswa dalam
menemukan ide dari sesuatu yang dikenal dan berada di sekitarnya. (2) Membantu
siswa dalam memperkaya perbendaharaan kosakata. (3) Membantu siswa menemukan
kata pertama dalam puisinya. (4) Membimbing siswa melakukan tahap-tahap
menulis puisi. (5) Dapat membantu siswa mengingat informasi lebih cepat dan
mempertahankan lebih lama.
Untuk
membuat sebuah puisi dengan teknik akrostik, diperlukan langkah-langkah yang
sistematis. Kurniawan dan Sutardi (2012, hlm. 39-51), kegiatan menulis puisi
dapat dilakukan mengikuti tahap-tahap berikut:
a. Tahap
pencarian ide (preparasi) yaitu dalam kegiatan ini, siswa diajak untuk berfikir
dan mengenang pengalaman yang pernah dialami dan mengingat
pengalaman-pengalaman apa saja yang pernah dialaminya.
b. Tahap
pengendapan (inkubasi). Pada tahap ini,
siswa dimotivasi untuk memilih satu pengalaman yang menarik untuk dijadikan
judul puisi. Dengan diperolehnya ide yang bersumber dari dirinya sendiri, maka
akan lebih mudah dalam menulis puisi. Pada tahap ini juga, siswa diharuskan
mengumpulkan kosakata yang mungkin akan digunakan dalam puisi akrostiknya.
c. Tahap
penulisan merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam
bentuk puisi. Pada tahap ini, siswa mulai menuliskan apa yang dirasakan dan
dipikirannya ke dalam puisi dengan bantuan pola akrostik sesuai dengan judul
yang telah di pilih sendiri. Pola tersebut dapat berbentuk daftar nama diri,
benda, keadaan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pribadi.
d. Tahap
editing dan revisi. Pada tahap penyuntingan, siswa membaca kembali puisi yang
telah ditulisnya. Setelah itu, siswa menyunting kata-kata dalam puisinya,
seperti mengganti, menghapus dan menambahkan kata-kata dalam puisinya tersebut.
Dan selanjutnya menyalin puisi tersebut dengan rapi.
Adapun
menurut Salam (2012), penerapan teknik
akrostik dalam pembelajaran
menulis puisi dapat dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
a. Menentukan
judul puisi.
Siswa
memilih satu pengalaman yang menarik untuk dijadikan judul
puisi. pengalaman tersebut akan membantu pesdik untuk mengembangkan ide.
puisi. pengalaman tersebut akan membantu pesdik untuk mengembangkan ide.
b. Menentukan
judul puisi tersebut secara vertikal.
Judul
dibuat vertikal untuk membantu memudahkan dalam menentukan kata pertama untuk
mengawali setiap baris puisi.
c. Menyusun
diksi ke dalam huruf-huruf yang telah disusun secara vertikal. Mengaitkan huruf
awal dengan diksi yang telah ada dan melanjutkan kata pertama tersebut menjadi
kata-kata yang indah tiap barisnya.
d. Tahap
penyuntingan.
Pada
tahap penyuntingan, siswa membaca kembali puisi yang telah ditulisnya seperti
mengganti, menghapus dan menambahkan kata-kata dalam puisi. selanjutnya siswa
menyalin puisi tersebut dengan rapi.
Atas
dasar kedua pendapat tentang langkah-langkah menulis puisi di atas, dapat
dikemukakan bahwa yang perlu diperhatikan dalam menulis puisi, yaitu; tahap
pencarian ide dalam menentukan tema apa yang akan diungkap/ditulis. Tahap
berikutnya ialah menuangkan ide tersebut kedalam kalimat-kalimay yang figuratif
dan konotatif. Selanjutnya tahap penyuntingan, dimana puisi yang dibuat dikaji
ulang untuk penyempurnaan atau perbaikan.
C.
Model
Pembelajaran Kooperatif
1.
Pengertian
Model Pembelajaran
Model pembelajaran ialah pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun
tutorial. Menurut Arends (dalam Suprijono, 2012, hlm. 46) bahwa “ model pembelajaran mengacu pada
pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran,
tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan
pengolahan kelas”.
Oleh Suprijono model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Trianto (2010, hlm. 23) istilah
model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode
atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki
strategi, metode atau prosedur yaitu: (1) rasional teoretis logis yang disusun
oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan
bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah
laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan
berhasil; (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu
dapat tercapai.
Adapun Joyce dan Weil (Rusman, 2012, hlm. 133) memberikan batasan model
pembelajaran, sebagai berikut:
Model
Pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan membimbing
pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola
pilihan, artinya para guru boleh memilih
model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.
Hal senada dengan beberapa pendapat di atas, Sani (2013,
hlm. 89) memberikan pengertian model pembelajaran, yaitu: “Model pembelajaran
merupakan kerangka konseptual berupa pola prosedur sistematik yang dikembangkan
berdasarkan teori dan digunakan dalam mengorganisasikan proses belajar mengajar
untuk mencapai tujuan belajar”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa
model pembelajaran adalah rencana atau pola yang dapat digunakan dalam
pembelajaran yang disajikan secara khas oleh guru atau para pengajar untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
2.
Pengertian
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan
strategi yang mendorong siswa aktif menemukan sendiri pengetahuan melalui
proses. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang kemampuannya heterogrn. Dalam
menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota saling bekerja sama dan saling
membantu dalam memahami suatu bahan ajar. Cooperatif
Learning atau pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran
yang berdasarkan teori konstruktivis (Isjoni, 2012a, hlm. 11).
Model pembelajaran kooperatif menurut
Slavin (dalam Isjoni, 2012b,
hlm. 15) adalah “suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif
sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar”.
Model pembelajaran kooperatif merupakan
suatu bentuk pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok dengan
cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif
yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok
yang bersifat heterogen (Rusman, 2012, hlm. 202). Setiap siswa yang ada dalam
kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang,
rendah). Model pembelajaran ini mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan
permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran.
Prinsip dasar dalam model pembelajaran
kooperatif adalah setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang dikerjakan dalam kelompok, setiap anggota kelompok harus mengertahui bahwa
semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama, setiap anggota kelompok
harus membagi tugas dan bertanggung jawab yang sama di antara anggota kelompok,
setiap anggota kelompok akan dikenai evaluasi, setiap anggota kelompok berbagi
kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses
belajarnya, dan setiap anggota kelompok akan diminta mempertanggung jawabkan
secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Karakteristik model pembelajaran
kooperatif adalah siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi
belajar sesuai kompoetensi dasar yang akan dicapai; kelompok dibentuk dari
beberapa siswa yang memliki kemampuan berbeda-beda, baik tingkat kemampaun
tinggi, sedang, dan rendah dan penghargaan lebih menekankan pada kelompok
daripada masing-masing individu.
Dalam pembelajaran kooperatif
dikembangkan dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemmapuan
saling belajar berpikir kritis, saling menyampaiakan pendapat, saling memberi
kesempatan menyalurkan, saling membantu belajar, saling menilai kemmapuan dan
peranan diri sendiri maupun teman lain. Slavin (2010, hlm. 11) mengungkapkan ada
beberapa tipe model pembelajaran kooperatif, antara lain: Jigsaw, Student Teams Achievement Divisions (STAD), Team Assisted
Individualization (TAI), Think Pair Share (TPS), Team Games Tournament (TGT),
Cooperative Integrated Reading and Composisition (CIRC), Cooperative Script
(CS) dll.
3.
Ciri-ciri
Model Pembelajaran Kooperatif
Setiap model pembelajaran sudah
pasti memiliki ciri dan karakteristik tersendiri bila dibandingkan antara model
yang satu dengan model yang lain. Begitu pula dengan model pembelajaran
kooperatif memiliki ciri. Rusman (2012, hlm. 8) membagi ciri-ciri
model pembelajaran kooperatif menjadi delapan ciri, yaitu:
(1)
belajar bersama dengan teman; (2) selama proses belajar terjadi tatap muka
antar teman; (3) saling mendegarkan pendapat di antara anggota kelompok; (4)
belajar dari teman sendiri dalam kelompok; (5) belajar dalam kelompok kecil;
(6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat; (7) keputusan
tergantung pada siswa sendiri; (8) siswa aktif.
Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2004, hlm. 29) menjelaskan
bahwa tidak semua
belajar kelompok bisa dianggap cooperative
learning. Untuk mencapai
hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong-royong harus
diterapkan, diantaranya adalah:
a) Saling
ketergantungan positif, keberhasilan suatu kelompok dalam memecahkan masalah sangat bergantung
pada usaha setiap anggotanya.
b) Tanggung
jawab perseorangan, setiap peserta didik mempunyai tanggung
jawab untuk menyelesaikan dan memahami materi yang yang
sudah diberikan.
c) Tatap
muka, kegiatan interaksi ini akan memberikan peserta didik hasil yang menguntungkan bagi semua
anggota. Hasil pemikiran beberapa
orang akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari satu orang saja. Dan hasil kerja sama ini
jauh lebih besar daripada jumlah hasil
masing-masing anggota.
d) Komunikasi
antar anggota, keberhasilan suatu kelompok juga bergantung
pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan
dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat.
e) Evaluasi
proses kelompok, evaluasi ini dilakukan untuk mengevaluasi
proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama lebih efektif.
Dari dua pendapat tentang
ciri-ciri model pembelajaran kooperatif di atas, dapat dikemukakan bahwa tidak
semua belajar yang bersifat kelompok dikategorikan pada model pembelajaran
kooperatif, tetapi yang lebih penting dalam pembelajaran kooperatif harus
memiliki ciri gotong-royong dan kebersamaan dalam memecahkan masalah yang
dihadapi dari kelompok tersebut.
4.
Model Kooperatif Tipe
Team Assisted Individualization (TAI)
Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Robert Slavin (1984). Menurut Robert Slavin (dalam Huda, 2013, hlm. 200), “Team Assisted
Individualization (TAI) merupakan sebuah program pedagogik yang berusaha
mengadaptasikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa secara akademik”.
Dengan demikian pembelajaran kooperatif tipe
TAI mengkombinasikan
keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini
dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar peserta didik secara individual. Oleh
karena itu, kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan
masalah Hal tersebut sebagaimana dikemukakan Sani (2013, hlm
189) bahwa “Team
Assisted Individualization (TAI) adalah kombinasi dari belajar kelompok dan individu”.
Adapun yang menjadi ciri
khas pada pembelajaran kooperatif
tipe TAI ini adalah setiap peserta didik secara
individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil
belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling
dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas
keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama. Robert Slavin (dalam Toha, 2013, hlm. 200), mengemukakan bahwa:
Dalam
tipe TAI,
peserta didik ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil (4-5) yang heterogen
dan selanjutnya diikuti dengan
pemberian bantuan secara individu bagi peserta didik yang memerlukannya. Dengan
pembelajaran kelompok, diharapkan para peserta didik dapat meningkatkan
kritisnya, kreatif, dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi. Sebelum dibentuk
kelompok, peserta didik diajarkan cara bekerja sama dalam suatu kelompok.
Peserta didik diajari cara menjadi pendengar yang baik, dapat memberikan
penjelasan kepada teman sekelompok.
Dari pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif TAI merupakan salah satu model pembelajaran
kooperatif yang menitikberatkan pada proses belajar individual dan kelompok yang diikuti dengan pemberian bantuan
individu bagi peserta didik yang membutuhkannya.
5.
Penerapan
Teknik Permainan Akrostik
dengan Model Kooperatif Tipe
Team Assisted Individualization (TAI) dalam Menulis Puisi
Sanjaya (2013, hlm. 189)
mengemukakan prosedur metode tipe TAI mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Bentuk kelompok yang terdiri dari peserta didik dengan kemampuan yang
bervariasi.
b. Setiap peserta didik mempelajari unit pelajaran secara individual.
c. Anggota kelompok menggunakan lembar jawaban untuk mengecek pekerjaan semua
peserta didik dalam kelompok, dan memastikan bahwa semua anggota kelompok siap
untuk diuji atau mengikuti tes belajar.
d. Kelompok melakukan diskusi dan tutorial sejawat, dan meminta bantuan
anggota tim sebelum bertanya pada guru.
e. Guru melakukan penilaian dengan menghitung jumlah unit belajar yang selesai
dipelajari anggota kelompok, dan nilai anggota kelompok pada tes unit.
f. Kelompok yang mencapai kriteria penilaian menerima penghargaan.
Berdasarkan langkah-langkah
tersebut di atas, sintaks pembelajaran menulis puisi
dengan menggunakan teknik permainan akrostik
dengan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted
Individualization (TAI) dalam penelitian ini serta merujuk pada pendapat
Salam (2012) pada Bab I, yang telah
dimodifikasi peneliti sebagai berikut:
a) Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan memotivasi siswa untuk
mengikuti pembelajaran yang baik.
b) Guru
menjelaskan materi
puisi bebas dengan menerapkan teknik bermain
akrostik dan contoh-contoh puisi akrostik.
c) Siswa
menyimak penjelasan yang disampaikan
oleh guru.
d) Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok dengan setiap
kelompok terdiri 4-5 orang.
e) Dengan
dibimbing guru, siswa menuliskan judul puisi akrostik yang berhubungan dengan
tema pembelajaran.
f) Siswa
mencari diksi yang tepat untuk mengembangkan kata.
g) Siswa
mulai menyusun dan menulis diksi-diksi ke dalam puisi yang telah disusun secara
vertikal.
h) Siswa
diberi waktu untuk berdiskusi dengan teman sebangku guna merevisi puisi yang
telah ditulisnya.
i)
Siswa menyajikan hasil kerjanya dalam menulis puisi akrostik dengan
membaca puisi tersebut di depan kelas.
j)
Siswa mengumpulkan hasil karyanya kepada guru.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Sesuai dengan penelitian yang penulis kaji tentang
menulis puisi bebas dengan teknik permainan akrostik menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI.
Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu berhubungan
dengan penelitian penulis, dipaparkan berikut ini.
1.
Penelitian relevan pertama
Henhen Yulia (2009) dengan judul penelitian “Meningkatkan
Kemampuan Menulis Puisi Menggunakan Teknik Bermain Akrostik dengan Bantuan
Media Gambar Tunggal pada Siswa Kelas III SDN Pasanggrahan II Kecamatan Sumedang
Kabupaten Sumedang”. Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan sebanyak tiga siklus, jumlah peserta didik
yang lulus mengalami peningkatan. Pada siklus I peserta didik yang lulus ada 12
orang, pada siklus II meningkat menjadi 16 orang, dan pada pelaksanaan siklus
III meningkat menjadi 20 orang. Hasil tersebut melebihi target yang telah
ditentukan yaitu 19 orang peserta didik yang lulus. Dengan demikian
pembelajaran puisi menggunakan teknik bermain akrostik dengan bantuan media
gambar tunggal dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dan meningkatkan
keaktifan dan kreatifitas peserta didik kelas III SDN Pasanggrahan II dalam
menulis puisi.
Relevansi terhadap judul penelitian ini adalah pada
penggunaan teknik bermain akrostik yang diterapkan dalam proses pembelajaran
bahasa Indonesia, dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi. Adanya tingkat
keberhasilan dari penggunaan teknik permainan akrostik tersebut mendorong
relevansi kesuksesan peningkatan pembelajaran terhadap keterampilan menulis
puisi bebas melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.
2.
Penelitian relevan kedua
Final Yaoulan Andani (2011) dengan judul penelitian
“Penerapan Teknik Menulis Puisi Akrostik dengan Menggunakan Media Audio Visual
Film untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas III SDN
Tenjolaya 1 Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung”. Hasil penelitian
menunjukkan data tahap perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pada siklus I
mencapai 43 (84%), siklus II 49 (96%), dan pada siklus III mencai 51 (100%).
Sedangkan untuk aktivitas siswa pada siklus I yang berkriteria baik mencapai 14
orang (58%) dan berkriteria cukup 10 orang (40%). Pada siklus II yang
berkriteria baik mencapai 18 orang (75%) dan berkriteria cukup 6 orang (25%).
Pada siklus III yang berkriteria baik naik mencapai 22 orang (92%) dan
berkriteria cukup 2 orang (8%). Hasil tes kemampuan menulis puisi siswa kelas
III SDN Tenjolaya pada siklus I mencapai 12 orang (50%), pada siklus II menjadi
18 orang (75%), dan pada siklus III menjadi 22 orang (92%). Dari kenaikan
jumlah ketuntasan belajar siswa tersebut, dapat disimpulkan bahw penerapan
teknik menulis puisi akrostik dengan menggunakan media audio visual film dapat
meningkatkan tes hasil belajar dalam menulis puisi.
Relevansi terhadap judul penelitian ini adalah pada
penggunaan teknik menulis puisi akrostik yang diterapkan dalam proses
pembelajaran bahasa Indonesia, dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi.
Hubungannya dengan tingkat keberhasilan dari penggunaan teknik menulis puisi akrostik tersebut
mendorong relevansi kesuksesan peningkatan pembelajaran terhadap keterampilan menulis
puisi bebas melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.
Dari beberapa hasil penelitian terdahulu dapat
dikemukakan bahwa penerapan teknik bermain akrostik dalam pembelajaran menulis
puisi di sekolah dasar dengan fakta penelitian dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran bahasa Indonesia padaq keterampilan menulis, baik ditinjau dari
aspek proses maupun hasil belajar.
E. Hipotesis Tindakan
Sesuai dengan rumusan masalah dan kajian teori di
atas, dapat penulis rumuskan hipotesis tindakan, yaitu: “Jika teknik permainan akrostik
digunakan dalam pembelajaran menulis puisi bebas dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI, maka aktivitas dan hasil belajar siswa kelas
V SDN 4 Cilimus Kabupaten Kuningan akan meningkat”.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Final Youlan (2011). Penerapan Teknik Menulis Puisi Akrostik dengan Menggunakan Media Audio
Visual Film untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas III SDN
Tenjolaya 1 Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung. (Skripsi). Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2007. Persiapan Membaca dan
Menulis Melalui Permainan. Jakarta: Depdiknas
Isjoni. (2012a). Cooperative Learning Efektifitas
Pembelajaran Berkelompok. Bandung: Alfabet.
Isjoni. (2012b). Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan
Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jabrohim dkk. (2009). Cara Menulis
Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Heru dan Sutardi. (2012). Penulisan
Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lie, Anita.
(2007). Cooperative
Learning. Jakarta: Grasindo.
Magee. Wes. (2008). Asyiknya
Menulis Puisi. Solo: Tiga Serangkai.
Muchlisoch. (1991). Telaah Kritik Sastra Indonesia dan Teater. Jakarta: Projek PGSD.
Pradopo, Rachmat Djoko. (2012). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo.
Salam. (2009). Pembelajaran Menulis Puisi dengan Metode Michael
Riffaterre.(online),http://gerbangpendidikan.blogspot.com/2009/01/pembelajaranmenulis-puisi-dengan.html.
Diunduh pada Jumat 2 Pebruari 2015 pukul
14.25 WIB.
Sanjaya, Wina. (2013). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kecana.
Santoso, Anang. (2012). Nafas Kreatif Inovatif Aktif (KIA) dalam
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. J-TEQIP: Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. 3(2):1—10.
Slavin,
R. E. (2005). Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media.
Slavin, Robert E. (2010). Cooperative
Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Penerbit Nusa Media.
.
Sudjiman, (1990). Kamus Istilah
Sastra. Yogyakarta: Rajawali Press.
Sudjiman, Panuti. (1988). Memahami
Cerita Rekaan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Suharianto. (2005). Dasar-Dasar Teori
Sastra. Semarang: Rumah Indonesia.
Suprijono, Agus. (2012). Cooperative
Learning (Teori & Aplikasi Paikem). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyitno, Amin. (2006). Pemilihan Model-model Pembelajaran dan Penerapannya di Sekolah. Jakarta: Pusdiklat
Tenaga Teknis Keagamaan-Depag.
Tarigan, Henry Guntur. (2008). Menulis
Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Trianto. (2010). Pengembangan
Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: PT. Prestasi pustakarya.
Waluyo, Herman. J. (2005). Apresiasi
Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wiyanto, Asul. (2005). Kesusastraan
Sekolah. Jakarta: Gramedia.
Yulia, Henhen (2009). Meningkatkan Kemapuan Menulis Puisi Menggunakan Teknik Bermain Akrostik
dengan Bantuan Media Gambar Tunggal pada Siswa Kelas III SDN Pasanggrahan II
Kecamatan Sumedang Kabupaten Sumedang. (Skripsi). Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Zulfahnur, Zuniar, Sayuti Kurnia, dan Zuniar
Z. Adji. (1996). Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.