TAWASUL
YANG MASYRU’ DAN MAMNU’
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Kelompok
Al – Islam dan Kemuhammadiyahan III
Dosen : Tatang Khaerul
Anwar, M. Pd. I
Oleh
Nurhaya Abaita
PGSD - C
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
STKIP MUHAMMADYAH
KUNINGAN
JL. Raya Cigugur No. 28 Kuningan – Jawa Barat 45511 Tlp.(0232) 874085
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tawassul adalah
mengadakan wasilah (perantara) antara seorang hamba dan
Rabbnya saat hamba tersebut berdoa. Dalam tradisi keagamaan umat Islam di
Nusantara, tradisi tawassul merupakan sebuah ritual yang sudah mengakar bahkan
telah menjadi kekhususan tersendiri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari sebuah proses peribadahan ini (berdoa).
Namun demikian, dalam
praktiknya tawassul seringkali dibumbui oleh hal-hal negatif yang justru
bertentangan dengan aqidah Islamiyah, yang dalam hal ini dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam dosa yang paling besar dalam Islam, musyrik. Karena dalam
beberapa praktiknya, kegiatan tawassul justru kemudian memberikan hak dan
sifat-sifat uluhiyah (ketuhanan), yang seharusnya menjadi hak
milik Allah semata, kepada sang perantara. Atas dasar ini, sebagian orang
kemudian berpendapat bahwa seluruh jenis tawassul yang tidak dicontohkan
Rasulullah merupakan kemusyrikan. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa
seluruh jenis tawassul merupakan kegiatan yang diperbolehkan karena hal ini
tidaklah berkaitan dengan aqidah, melainkan permasalahan furu’ (cabang) dalam
tata cara berdoa kepada Allahu ta’ala.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Tawasul?
2. Apa
itu Tawasul yang Masyru’ dan Mamnu’?
3. Apa
saja Tawasul yang disyariatkan?
C.
Tujuan
1. Mengetahuai pengertian Tawasul.
2. Memahami pengertian tawasul Masyru’ dan Mamnu’.
3. Mengetahui Tawasul yang disyariatkan.
1. Mengetahuai pengertian Tawasul.
2. Memahami pengertian tawasul Masyru’ dan Mamnu’.
3. Mengetahui Tawasul yang disyariatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tawasul
Secara etimologi tawassul berasal dari kata tawassala yatawassalu
tawassulan yang berarti mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat. Dan secara terminology, tawassul
adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan wasilah
(perantara). Wasilah sendiri berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan
dan setiap sesuatu yang dijadikan perantara pendekatan dalam berdo’a. Imam
An-Nasafi berkata: “Wasilah adalah semua bentuk di mana seseorang bertawassul
atau mendekatkan dirinya dengannya.”
Arti ini
bisa kita temukan dalam beberapa firman Allah berikut ini;
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS 5:35)
Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu
ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan apapun atau bentuk
kedekatan apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT). (juz 10/ 290)
“Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya
dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti.” (QS 17:57)
B.
Pengertian
Tawasul yang Masyru’ dan Mamnu’
1.
Tawasul
Masru’
Tawassul Masyru’ adalah taqarrub kepada Allah dengan
cara yang dicintai dan diridloi Allah SWT seperti taqarrub dengan ibadah wajib
atau sunnah dan amal-amal saleh yang lain. Dan tawassul masyru’ ini ada tiga
jenis yang telah disepakati oleh Ulama. Yaitu;
a) Tawassul
kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-sifatNya yang
mulya. Sebagaiman FirmanNya;
“Hanya milik
Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)
Ayat ini
secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a kepadanya dengan
menggunakan nama-namaNya. Karena do’a yang menggunakan nama-nama dan
sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh
sembilan nama, seratus kurang satu, siapa saja yang menjaganya (menghafalnya)
niscaya ia kan masuk surga. Dan Dia adalah witir (ganjil) mencintai yang
witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)
Dalam hadits
shahih yang lain Beliau bersabda:
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memhon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki. Engkau
telah menamakan Dirimu dengannya atau Engkau telah menurunkannya dalam Kitabmu
atau engkau telah mengajarkannya kepada seseorang dari makhlukmu atau Engkau
simpan sendiri dalam ilmulghaib (rahasia ilmu) yang ada di sisiMu, semoga
Engkau menjadikan Al-Quran al-Adziim kebahagian hati-hati kami….”
b) Twassul
kepada Allah dengan amal saleh, di mana seorang hamba memohon kepada Allah
dengan amalnya yang palik baik seperti shalat, puasa, keimanan, ketauhidan,
kecintaan, meninggalkan kemaksiatan dan semacamnya. Sebagaiman yang pernah
dilakukan oleh Ashhabul ghaar (Orang-orang yang masuk gua) yang terperangkap
dalam gua. Lalu setiap mereka berdo’a kepada Allah dengan amal-amal mereka agar
Allah membukakan pintu gua yang tertutup dengan batu besar. Satu di anatara
mereka bertawassul dengan iffahnya (penjagaannya) dari zina, yang kedua dengan
birrul walidain dan yang ketiga dengan amanah atas upah pegawainya. (HR
Al-Bukhari Muslim)
“Ya Tuhan
kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami
ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang
menjadi saksi (tentang keesaan Allah)”.(QS 3:53)
c) Tawassul
kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim
mendapatkan musibah, kepayahan dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh
minta tolong kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah
memudahkan dan menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk
pertolongan antara mukmin dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (QS 5:2)
Rasulullah
bersabda:
“Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba
itu membantu saudaranya.”
Dan kisah
istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang
datang pada hari Jum’at meminta Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan
kepadanya. Lalu Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun dengan
deras. (HR Ahmad dan Al-Bukhari)
Rasulullah
saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata kepada
Umar di saat minta izin umrah: “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam doamu.”
2.
Tawassul
Mamnu’
Tawassul
Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan
diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Tawassul semacam
ini tidak diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan
sumpah dengan makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;
a) Tawassul
kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang yang telah
mati atau ghaib dan semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar yang
bertentang dengan tauhid. Karena mayit tidak akan memberikan manfaat dan
madharat dalam tawassul.
“Dia memasukkan malam ke dalam siang
dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan,
masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian
itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS
35:13)
b) Tawassul
kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan yang
dilarang Islam, seperti makan-makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh
lainnya, membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di keramatkan
dan semacamnya. Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid.
Bahkan ini bentuk neo-paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka
meyakini adanya kekuatan lain yang mampu memberikan pertolongan selain Allah
SWT. Sebagian ada yang percaya dengan adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang
menguasai lautan dan daratan sehingga mereka melakukan perayaan dan sesajen
sebagi bentuk tawassul atau bahkan memohon langsung pada berhala-berhala yang
mereka tuhankan ini. Allah berfirman;
“Apakah mereka mempersekutukan
(Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun?
Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu
tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada
dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS
7:191-192)
Begitu juga
Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau tempat
peninggalan para Nabi dan para Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki
kemulyaan, keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah tidak
membenarkan orang yang bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu juga
yang dilakukan Umar bin Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah menunaikan
salat shubuh berjalan-jalan ke suatu tempat di mana banyak manusia datang ke
sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada Umar: “Rasulullah saw mengerjakan
shalat si tempat ini.” Kemudian Umar berkata: “Sungguh telah binasa orang-orang
ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para Nabi mereka sebagai
sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)
Imam Malik
juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk tujuan tawassul.
Ketika ditanya seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata: “Jika
bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke masjid maka lakukanlah.”
(Al-Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)
c) Tawassul
kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh. Tawassul dengan
kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang
menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul
Al-‘Isyriin berkata:
“Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul
kepada Allah dengan seseorang dari makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam
cara berdo’a dan bukan merupakan masalah-masalah aqidah.”
Begitu juga
Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad
bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain
melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah
tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang
diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa,
Ibnu Taimiah 1/264) Ia juga berkata:
“Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan
apa-apa yang diperselisihkan Ummat ini harus dikembalikan kepada Allah dan
RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)
Hal ini juga
diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa Anwa’uhu wa
Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz (Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir) dan Syekh
Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil Islam) Meskipun
demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih setelah melihat
dalil-dalil dari setiap pendapat para Ulama. Inilah beberapa pendapat para
Ulama tentang tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh;
1) Ibnu Taimiah
dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah
SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini;
“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS 53:39)
Jadi kedudukan mulia seseorang yang
saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang
lain. Adalah suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan Allah dengan
manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara
karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu
tidak dibutuhkan. Untuk memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu
menggunakan perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan
kedudukan Rasulullah saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru
memohon kepada Abbas untuk mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan
Umar bin Khattab ra.
Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan
bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas
–Paman Rasul- dan ia berkata: “Ya Allah,
sesungguhnya kami apabila tertimpa kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada
Engkau dengan Nabi kami, kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami
bertawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani
kami, akhirnya mereka diberikan hujan.”
Di sini Imam
Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini Menunjukan bahwa tawassul
merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan
syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta
dengan dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya
bertawassul dengan dzat Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah
Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu Taimiah, 58)
Adapun
hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw “Aku bertawassul denganmu wahai Muhammad
kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi), maksudnya adalah
permohonan kepada Rasulullah utnuk mendo’akannya. Karena Rasulullah selanjutnya
berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri
syafaatlah kepadanya krenaku.” (Imam Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa
hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal
liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah,
DR Ibrahim Al-Buraikan)
Adapun
hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi Allah
matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits
ad-dho’ifah wa al-maudhu’at, Al-Baany) Dan sementara bertawassul dengan dzat
orang-orang yang saleh juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang
dan bertentangan dengan syari’at;
·
Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah
·
Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan
bersumpah kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
·
Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan
hamba-hambaNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat.
·
Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang
tidak dibenarkan.
2) Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul
dengan dzat Rasulullah saw khusus dan tidak dibenarkan dengan selainnya. Begitu
juga Imam Ahmad bin Hanbal, sementara Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan
dzat orang-orang yang saleh selain Nabi. Dalil mereka adalah istisqonya Umar
yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan hadits orang yang buta yang meminta
dikembalikan matanya. Dan beberpa hadits ini dijawab para Ulama yang tidak
memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana adalah permohonan
do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan dengan orang
buta adalah dho’if.
C. Tawasul yang disyariatkan
Tawasul
yang disyariatkan yaitu tawasul dengan menyebut dzat Allah seperti ucapanmu: Ya
Allah..., dan dengan menyebut salah satu nama-Nya,
seperti ucapanmu: ya
Raiman, Ya Rahim, Ya Hayyu Ya Qayyum..., atau tawasul dengan menyebut
sifat-sifat-Nya
seperti ucapanmu: Allahumma
birahmatika astaghitsu.
Termasuk
tawasul yang disyariatkan adalah melalui doa orang shalih yang masih hidup,
berada dihadapan kita seperti engkau mengatakan wahai ustadz berdoalah kepada
Allah untuk saya dan yang sepertinya, seperti shahabat yang meminta kepada
Rasulullah untuk berdoa kepada Allah agar menurunkan hujan.
Macam
tawasul yang disyariatkan lainnya adalah tawasul dengan amal stratitr seperti
kisah orang-oran yang terperangkap di dalam gua, gua tersebut tertutup dengan
batu yang besar sehingga mereka tidak dapat keluar gua, maka mereka berdoa
kepada Allah dengan menyebutkan amal shalih mereka lalu Allah selamatkan mereka
dari kebinasaan dan dapat keluar dengan selamat. Untuk macam yang ini anda
dapat berdoa seperti: 'yaa Allah saya memohon kepada-Mu melalui cintaku kepada
Nabi-Mu, dengan sebab taatku dan tauhidku kepada-Mu agar Engkau mernberi ini
dan itu.
Adapun
permohonan kepada Allah melalui kedudukan Nabi atau kedudukan orang shalih
disisi Allah atau bersumpah dengan nama makhluk agar Allah mengabulkan
permohonannya maka hal tersebut adalah bid'ah yang bisa menjurus kepada
kesyirikan, serta haram hukumnla (jika tidak sampai kepada kesyirikan)
dikarenakan ia memohon kepada Allah. Adapun kalau seseorang memohon kepada
orang yang telah meninggal atau memohon kepada orang yang hidup tetapi tidak
berada ditempat dan diyakininya mengetahui hal yang ghaib maka hal tersebut
sebagai syirik akbar (yang mengeluarkan seseorang dari keislaman, pent) Allah
telah membimbing kepada hamba-hamba-Nya agar memohon kepada-Nya semata, jangan
memohon kepada selain-Nya, Allah menjanjikan untuk mengabulkan setiap
permohonan hamba-Nya, Ia berfirman :
"Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dolam kebenaran.', (Q. S.Al Baqarah: 186)
Dan firman-Nya:
"Berdoalah kepada-Ku, akan Kuperkenankan
bagimu." (Q. S. Al Mu'min:60)
Allah telah membimbing
kita pula agar meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Kita selalu mengucapkan
dalam shalat setiap rakaat' :
"Hanya
kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" (Q.S.
Al Fatihah:5)
Meskipun
demikian engkau dapatkan diantara orang-orang yang menjalankan shalat apabila permintaan
mereka belum terpenuhi segera mereka mendatangi kuburan untuk memohon dari
mereka' Padahal Allah Maha Berkuasa untuk mengabulkan permohonannya dalam waktu
sekejap, tetapi Allah tunda sebagai suatu ujian untuk hamba-hamba-Nya apakah
dia orang yang jujur sehingga dia tetap istiqamah dalam menghadapi musibah, ia
tidak akan memohon kepada selain-Nya meskipun harus ditimpa gunung atau ditelan
bumi, dia tetap kuat kepercayaannya kepada Allah, hanya memohon pertolongan dan
tawakal kepada Allah semata'
Adapun
orang yang lain lagi tertipu ketika diuji, ia lemah dalam imannya sehingga
tidak meminta pertolongan kepada Allah, dihiasinya oleh syaitan agar ia meminta
pertolongan kepada kuburan sehingga ia keluar dari agama Islam karena telah
berbuat syirik, sesuai dengan janji syaitan:
"Demi kekuasaan Engkau aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara
mereka." (Q. S. Shaad: 82-83)
Ujian
dari Allah terhadap makhluk-Nya tertera dalam Al Qur'an diantaranya adalah
firman Allah:
"Alif
Laan Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami
lelah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orong yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
Yang dusta." (Q.S.Al Ankabutl:1- 3)
"'Dan
tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali
atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak
(pula) mengambil pelaiaran?" (Q. S.Al Taubah:126)
BAB III
PENUTUP
Untuk
menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha
menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang
oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan
berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri.
Dan
seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran
dan As-Sunnah. Tentunya selain menjaga etika-etika berdo’a yang telah
ditetapkan para Ulama seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab
Al-Jawaab Al-Kaafi. Hal ini dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan
Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Suara Muhammadiyah. 1 – 15 Januari 2005. Agama yang Membebaskan