Saturday, July 1, 2023

BAB II PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL MELALUI METODE PENUGASAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENULIS KARANGAN

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

A.      Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar

1.        Pengertian Menulis

Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian menulis yaitu sebagai berikut “Menulis adalah membuat huruf (angka) dengan pena melahirkan pikiran dan perasaan (seperti menulis, membuat surat)” (Depdikbud, dalam Djuanda, 2007, hlm. 179).

Hal lain tentang pengertian menulis dikemukakan oleh Tarigan (1995, hlm. 180) sebagai berikut:

Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa gambar itu.

 

Sebagaimana pendapat Suriamiharja (dalam Djuanda, 2007, hlm. 180), ”Menulis adalah kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan”. Dengan demikian menulis adalah berkomunikasi mengungkapkan pikiran, perasaan dan kehendak kepada orang lain secara tertulis.

Sedangkan Lado (dalam Suriamiharja, 1997, hlm. 1) mengatakan “Menulis adalah menempatkan simbol-simbol grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dimengerti oleh seseorang, kemudian dapat dibaca oleh orang lain yang memahami bahasa tersebut beserta simbol-simbol grafisnya”.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah kemampuan seseorang dalam melahirkan gagasan, pikiran, perasaan dan kehendak kepada orang lain yang berupa tulisan. Menulis yang dipandang sebagai kegiatan seseorang menempatkan sesuatu pada sebuah dimensi ruang kosong adalah salah satu kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa tulis. Kemampuan menulis itu tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dengan kemampuan lain. Menulis itu berhubungan dengan membaca, wicara, dan menyimak. Baik menulis maupun membaca, mewicara dan menyimak memiliki fungsi untuk manusia dalam mengkomunikasikan pesan melalui bahasa.

2.        Fungsi Menulis

Fungsi menulis menurut Tarigan (1986), bahwa dalam kegiatan bahasa menulis memiliki fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi secara tertulis dan tidak langsung. Tulisan dapat membantu menjelaskan pikiran-pikiran kita (dalam Djuanda, 2007, hlm. 180).

Hal yang sama dikemukakan oleh Rusyana (dalam Djuanda, 2007, hlm. 181), bahwa menulis juga memiliki fungsi lain, yaitu :

a.    Fungsi penataan

Ketika menulis terjadi penataan terhadap gagasan, pikiran, pendapat, imajinasi dan yang lainnya, serta terhadap penggunaan bahasa untuk  mewujudkannya.

b.    Fungsi pengawetan

Menulis mempunyai fungsi untuk mengawetkan pengutaraan sesuatu dalam wujud dokumen tertulis.

c.    Fungsi penciptaan

Dengan menulis kita menciptakan sesuatu yang mewujudkan sesuatu yang baru.

d.   Fungsi penyampaian

Penyampian itu bukan saja kepada orang lain yang berdekatan tempatnya melainkan juga kepada orang yang berjauhan. Malah penyampian itu dapat terjadi pada masa yang berlainan

 

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa fungsi menulis itu bukan hanya untuk berkomunikasi secara tertulis atau tidak langsung saja, tetapi juga menulis berfungsi sebagai penataan, pengawetan, penciptaan dan penyampaian kepada orang lain yang tidak dibatasi oleh tempat maupun waktu.

 

3.        Tujuan Menulis

Hartig (dalam Tarigan, 1995, hlm. 24) mengemukakan tujuan menulis yaitu sebagai berikut:

a.    Assigenmenit purpose (tujuan penugasan)

     Penulis tidak mempunyai tujuan untuk apa dia menulis. Penulis hanya menulis tanpa mengetahui tujuannya. Dia menulis karena mendapat tugas, bukan atas kemauan sendiri.

b.    Altruistic purpose (tujuan altruistik)

     Penulis bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, menghindarkan kedudukan para pembaca, ingin menolong para pembaca memahami, menghargai perasaan dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih menyenangkan dengan karyanya itu. Penulis harus berkeyakinan bahwa pembaca adalah “teman” hidupnya. Sehingga penulis benar-benar dapat mengomunikasikan suatu ide atau gagasan bagi kepentingan pembaca. Hanya dengan cara itulah tujuan altruistik dapat dicapai.

c.    Persuasive purpose (tujuan persuasif)

     Penulis bertujuan mempengaruhi pembaca, agar pembaca yakin akan kebenaran gagasan atau ide yang dituangkan atau diutarakan oleh penulis.

d.   Informational purpose (tujuan imformasional atau tujuan penerangan)

     Penulis menuangkan ide atau gagasan dengan tujuan memberi informasi atau keterangan kepada pembaca. Di sini penulis berusaha menyampaikan informasi agar pembaca menjadi tahu mengenai apa yang diinformasikan oleh penulis.

e.    Self expressive purpose (tujuan pernyataan diri)

     Penulis berusaha untuk memperkenalkan dirinya sendiri kepada para pembaca dengan melalui tulisannya, pembaca dapat memahami “siapa” sebenarnya sang penulis itu.

f.     Creative purpose (tujuan kreatif)

     Penulis bertujuan agar pembaca dapat memiliki nilai-nilai artistik atau nilai-nilai kesenian dengan membaca tulisan si penulis. Di sini penulis bukan hanya memberikan informasi melainkan lebih dari itu. Dalam informasi yang disajikan oleh penulis, para pembaca bukan hanya sekedar tahu apa yang disajikan oleh penulis, tetapi juga merasa terharu membaca tulisan tersebut.

g.    Problem solving purpose (tujuan pemecahan masalah)

     Penulis berusaha memecahkan suatu masalah yang dihadapi dengan tulisannya, penulis berusaha memberi kejelasan kepada para pembaca tentang bagaimana cara pemecahan suatu masalah (dalam Muchlisoh, 1992, hlm. 234).

 

Dengan demikian hasil menulis (tulisan) yang paling utama ialah dapat menyampaikan pesan penulis kepada pembaca, sehingga pembaca memahami maksud penulis yang dituangkan dalam tulisannya. Karena proses komunikasi ini dilakukan secara tidak langsung tidak melalui tatap muka antara penulis dan pembaca, dan agar tulisan ini berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh penulis, maka isi tulisan serta lambang grafik yang dipergunakan penulis harus benar-benar dipahami baik oleh penulis ataupun pembacanya.

 

4.        Jenis-jenis Menulis di Sekolah Dasar

Agar siswa memahami cara-cara menulis berbagai hal dengan aturan-aturan penulisan, serta mengkomunikasikan ide atau gagasan melalui tulisan, maka dalam hal ini dapat dipelajari jenis-jenis menulis yang harus diajarkan di sekolah dasar berdasarkan pada Kurikulum SD 2004.

Dikemukan oleh Muchlisoh (1992, hlm. 243-266) dan Supriyadi (1996, hlm. 256-264) jenis-jenis menulis untuk tingkat sekolah dasar di kelas IV sebagai berikut:

a.    Menulis ejaan

     Menulis ejaan adalah menulis sesuai dengan ketentuan yang harus dilaksanakan dalam menuliskan kata-kata dengan huruf. Menulis ejaan di sekolah dasar diajarkan di kelas III dan IV.

b.    Menulis prosa di kelas IV, V, dan VI

     Prosa adalah menulis karangan bebas, maksudnya penulis prosa dapat secara bebas menuliskan apa saja yang di dalam pikirannya, tanpa harus terikat oleh aturan-aturan tertentu.           Jenis menulis prosa yaitu (a) menulis prosa narasi, (b) menulis prosa deskripsi, (c) menulis prosa persuasi, (d) menulis argumentasi.

 

Sedangkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), untuk pembelajaran bahasa Indonesia di kelas IV SD dalam aspek menulis pada semester genap sebagai berikut:

Tabel 2.1

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)

Menulis di Kelas IV SD

 

No

Standar Kompetensi (SK)

Kompetensi Dasar (KD)

1

Mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi secara tertulis dalam bentuk karangan sederhana

Menyusun karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf kapital, tanda titik, koma, dan lain-lain)

2

Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pantun anak

Membuat pantun anak  yang menarik tentang kepatuhan sesuai dengan ciri-ciri pantun

3

Mengungkapkan pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pengumuman

Menulis pengumuman dengan bahasa yang baik dan benar serta memperhatikan penggunaan ejaan.

4

Mengungkapkan pikiran perasaan dan informasi secara tertulis dalam bentuk pantun anak

Membuat pantun anak yang menarik tentang ketekunan

5

Mengungkapkan pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pengumuman

Menulis pengumuman dengan bahasa yang baik dan benar serta    memperhatikan penggunaan ejaan.

6

Mengungkapkan pikiran perasaan dan informasi secara tertulis dalam bentuk karangan

Menyusun karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf kapital dan tanda baca)

7

Mengungkapkan pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pengumuman

 Menulis pengumuman engan bahasa yang baik dan benar serta memperhatikan  penggunaan ejaan

8

Mengungkapkan pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk karangan

 Menyusun karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan yang tepat

9

Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk pengumuman

 Menyusun karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf besar,  tanda titik, tanda koma, dll.)

 

Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa pada penelitian ini difokuskan pada menulis karangan di kelas IV SD sebagaimana pada KD, yaitu: menyusun karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf  besar,  tanda titik, tanda koma, dll.).

 

5.      Menulis sebagai suatu Keterampilan Berbahasa

Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen, yaitu menulis, membaca, mendengar, dan berbicara. Pada bagian menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa akan dipaparkan sebagai berikut:

a.         Menulis sebagai suatu Cara Berkomunikasi

Komunikasi adalah suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang pasti terjadi sewaktu-waktu bila manusia atau binatang-binatang ingin berkenalan atau berhubungan satu sama lain. Seperti hewan-hewan lainnya maka manusia berkomunikasi melalui gerak-gerik refleks yang sederhana dan bunyi-bunyi yang tidak berupa bahasa. Tetapi hanya manusia sajalah yang telah mengembangkan bahasa (Webb dalam Tarigan, 1995, hlm. 18).

Woolcatt & Unwin (dalam Tarigan, 1995, hlm. 19), komunikasi lisan dan tulis sangat berhubungan erat karena sifat penggunaannya yang saling berkaitan dalam bahasa. Terdapat sejumlah situasi yang sekaligus membutuhkan kedua-duanya, dan situasi-situasi lainnya yang membutuhkan dua bahkan tiga jenis media komunikasi tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media tulis atau keterampilan menulis merupakan salah satu aspek penting dalam proses komunikasi setiap penulis atau pengarang mempunyai pikiran atau gagasan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Dalam hal ini penulis harus dapat menterjemahkan ide-idenya itu ke dalam sandi-sandi lisan yang selanjutnya diubah menjadi sandi-sandi tulis. Pikiran atau gagasan sang penulis sampai ke pihak pembaca, pembaca melihat tulisan tersebut dan menterjemahkan sandi tulis itu ke dalam sandi lisan kembali dan mendapatkan kembali pikiran atau gagasan sang penulis. Akhirnya pembaca memahami pikiran atau gagasan tersebut.

 

b.        Hubungan antara Menulis dan Membaca

Antara menulis dan membaca terdapat hubungan yang sangat erat. Menulis adalah kegiatan yang bersifat produktif, sedangkan membaca merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat reseptif. Seseorang menulis guna menyampaikan gagasan perasaan atau informasi dalam bentuk tulisan. Sebaliknya seseorang membaca guna memahami gagasan, perasaan atau informasi yang disajikan dalam bentuk tulisan tersebut.

Wray (dalam Mulyadi, 2007, hlm. 22), dalam menulis “seseorang harus melalui tahap-tahap perencanaan dan revisi. Dalam melakukan perencanaan seringkali penulis melakukan aktivitas membaca yang ekstensif dan intensif guna menelusuri informasi, konsep-konsep, atau gagasan-gagasan yang akan dijadikan bagian dari bahan tulisannya kemudian membaca, lalu menulis kembali secara berulang-ulang.

Jadi tampak jelas bahwa kemampuan membaca sangat penting sekali bagi proses menulis. Dengan kemampuan membaca, baik secara langsung akan menambah wawasan bagi seorang penulis dalam mengembangkan ide-ide kedalam bentuk tulisan.

 

c.         Hubungan antara Menulis dan Berbicara

Dalam menulis dan berbicara mempunyai hubungan yang sangat erat kedua-duanya memiliki ciri yang sama, yaitu produktif dan ekspresif. Perbedaannya ialah bahwa dalam menulis diperlukan penglihatan dan gerak tangan, sedangkan dalam berbicara diperlukan pendengaran dan pengucapan. Dengan kata lain, menulis merupakan komunikasi tidak langsung, tidak tatap muka, sedangkan berbicara merupakan komunikasi langsung, komunikasi tatap muka. Pada aspek menulis maupun berbicara harus memperhatikan komponen-komponen yang sama, yaitu struktur kata/bahasa, kosakata, kecepatan/kelancaran umum: bedanya ialah bahwa kalau menulis berkaitan dengan ortografi, sedangkan berbicara berkaitan erat dengan fonologi.

Subyakto-Nababan (dalam Mulyadi, 2007, hlm. 23) menjelaskan bahwa “berbicara maupun menulis adalah kegiatan berbahasa yang bersifat produktif”. Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan, sedangkan menulis adalah kegiatan ragam tulis. Kemudian kegiatan menulis pada umumnya kegiatan berbahasa tidak langsung, sedangkan berbicara pada umumnya bersifat langsung. Ini berarti ada kegiatan menulis yang bersifat langsung, misalnya komunikasi tulis dengan menggunakan telepon seluler (sms) dan internet (chatting). Sebaliknya ada pula kegiatan berbicara secara tidak langsung misalnya melalui pengiriman pesan suara melalui telepon seluler.

 

d.        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Menulis

Seseorang dapat dikatakan telah mampu menulis dengan baik jika dia dapat mengungkapkan maksudnya dengan jelas sehingga orang lain dapat memahami apa yang diungkapkannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (dalam Suriamiharja, 1997, hlm. 3) sebagai berikut.

Tulisan dikemukakan oleh orang-orang terpelajar untuk merekam, meyakinkan, melaporkan, serta mempengaruhi orang lain dan maksud serta tujuan tersebut hanya bisa tercapai dengan baik oleh orang-orang (para penulis) yang dapat menyusun pikirannya serta mengutarakannya dengan jelas dan mudah dipahami.

 

Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang penulis yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki kepekaan terhadap keadaan sekitarnya agar tujuan penulisannya dapat dipahami oleh pembaca. Tarigan (dalam Suriamiharja, 1997, hlm. 3) mengatakan bahwa, “Penulis yang ulung adalah penulis yang dapat memanfaatkan situasi dengan tepat”.

Tarigan (Suriamiharja, 1997, hlm. 3), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi cara penulisan seseorang antara lain maksud dan tujuan, pembaca dan pemirsa, serta waktu dan kesempatan. Berikut uraian faktor yang dapat mempengaruhi cara penulisan seseorang, sebagai berikut:

 

 

a.       Maksud dan tujuan

Untuk menjadi penulis yang baik, penulis harus menentukan maksud dan tujuan penulisannya, agar pembaca memahami ke arah mana arah tujuan penulisan itu.

b.      Pembaca atau pemirsa

Penulis harus melihat juga kondisi pembaca, artinya tulisan ini ditujukan kepada pembaca yang bagaimana (dalam hal usia, pengetahuan, minat) sehingga tulisan yang dibuatnya menjadi satu karya yang bermakna.

c.       Waktu atau kesempatan

Penulis juga harus memperhatikan waktu dan kesempatan, artinya apakah tulisan yang dibuatnya sesuai dengan berlangsungnya suatu kejadian sehingga menarik untuk dibaca.

 

6.      Jenis- Jenis Karangan

Mengarang merupakan kegiatan mengemukakan gagasan secara tertulis. Menurut  Syafie’ie (1988, hlm. 41), tulisan pada hakikatnya adalah representasi bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk visual menurut sistem ortografi tertentu.  Banyak aspek bahasa lisan seperti nada, tekanan irama serta beberapa aspek lainya tidak dapat direpresentasikan dalam tulisan. Begitu juga halnya dengan aspek fisik, seperti gerak tangan, tubuh, kepala, wajah, yang mengiringi bahasa lisan tidak dapat diwujudkan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, dalam mengemukakan gagasan secara tertulis, penulis perlu menggunakan bentuk tertentu. Betuk-bentuk tersebut, seperti  dikemukakan oleh Semi (2003, hlm. 29) bahwa secara umum karangan dapat dikembangkan dalam empat bentuk yaitu narasi, ekposisisi, deskripsi, dan argumentasi.

a.      Narasi

Karangan narasi (berasal dari naration berarti bercerita) adalah suatu bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, dan merangkaikan tindak tanduk perbuatan  manusia  dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau berlangsung dalam suatu kesatuan waktu (Finoza, 2004, hlm. 202). Narasi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan waktu dengan maksud menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan peristiwa yang biasanya memuncak pada kejadian utama (Widyamartaya, 1992, hlm. 9-10). Menurut Semi (2003, hlm. 29), narasi merupakan betuk percakapan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia dari waktu ke waktu.

Selanjutnya, Keraf (1987, hlm. 136) mengatakan karangan narasi merupakan:

Suatu bentuk karangan yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkai menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat juga dirumuskan dengan cara lain; narasi adalah suatu bentuk karangan yang berusaha mengambarkan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, secara sederhana narasi merupakan cerita. Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam suatu urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik.

Dalam menulis, penulis dituntut mampu membedakan antara narasi dan deskripsi. Narasi mempunyai kesamaan dengan deskripsi, yang membedakannya adalah narasi mengandung imajinasi dan peristiwa atau pengalaman lebih ditekankan pada urutan kronologis. Sedangkan deskripsi, unsur imajinasinya terbatas pada penekanan organisasi penyampaian pada susunan ruang sebagai mana yang diamati, dirasakan, dan didengar. Oleh karena itu, penulis perlu memperhatikan unsur latar, baik unsur waktu maupun unsur tempat.  Dengan kata lain, pengertian narasi itu mencakup dua unsur, yaitu perbuatan dan tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.

 

b.      Eksposisi

Kata ekposisi dipungut dari kata bahasa Inggris exposition sebenarnya berasal dari kata bahasa latin yang berarti membuka atau memulai (Finoza, 2004, hlm. 204). Menurut Widyamartaya (1992, hlm. 9-10), ekposisi bertujuan menyampaikan gagasan yang berupa fakta atau hasil-hasil pemikiran dengan maksud untuk memberitahu atau menerangkan sesuatu seperti masalah, manfaat, jenis, proses, rencana, atau langkah-langkah. Jadi, ekposisi adalah tulisan yang bertujuan menjelaskan atau memberikan informasi tentang sesuatu.

Sehubungan dengan hal di atas, pada dasarnya ciri-ciri narasi sama dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh deskripsi dan argumentasi. Adapun ciri-ciri karangan ekposisi menurut  Semi (2003, hlm. 37), yaitu:

1)        Berupa tulisan yang memberikan pegertian dan pengetahuan;

2)        Menjawab pertanyaan tentang apa, mengapa, kapan, dan bagaimana;

3)        Disampaikan dengan lugas dengan bahasa baku;

4)        Menggunakan dengan nada netral, tidak memihak, dan memaksakan sikap penulis terhadap pembaca.

 

Adapun ciri-ciri karangan ekposisi menurut Keraf (1982, hlm. 4-5), yaitu:

(a) Ekposisi hanya berusaha menjelaskan atau menerangkan suatu pokok persoalan, (b) Keputusan suatu ekposisi diserahkan kepada pembaca, (c) Gaya cerita ekposisi lebih cenderung berisi informatif, (d) Fakta  yang dipakai dalam suatu ekposisi hanya sebagai alat kontrasasi, yaitu rumusan kaidah yang dibuat itu lebih konkret.

 

Berdasarkan ciri karangan ekposisi tersebut, hanya berusaha menyampaikan sesuatu pemberitahuan, pengetahuan tanpa mempengaruhi minat dan sikap pembaca, Pembaca diberi kesempatan untuk menerima, memutuskan atau menolak tentang sesuatu yang diuraikan penulis. Gaya penyampaiannya cenderung bersifat informatif, artinya penulis juga memberikan penjelasan untuk gagasan, sehingga pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang sesuatu yang dimaksudkan dari gagasan tersebut.

Pemberian informasi penjelasan melalui karangan ekposisi hanya bersifat menguraikan dan memberi pengenalan lanjutan bagi pembaca dan bukan merupakan suatu pembuktian. Penggunaan bahasa dalam karangan ini tidak dipengaruhi oleh unsur subjektifitas dan emosional. Penulis hanya menjelaskan apa adanya dan tidak membubui dengan kata-kata yang menarik minat dan emosi pembaca. Penggunaan kosakata cenderung bermakna denotatif.

 

Karangan ekposisi berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik. Tujuan utama karangan ini adalah memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk mencapai tujuan yang  diharapkan, pola pengembangan karangan ekposisi biasanya dikembangkan dengan susunan logis dengan pola pengembangan gagasan seperti definitif, klasifikasi, ilustrasi, perbandingan dan pertentangan, dan analisis fungsional (Semi, 2003, hlm. 37). Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal atau keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut.

Berdasarkan uaraian di atas, dapat dijelaskan bahwa jenis karangan ekposisi dapat berupa kisah perjalanan, pemaparan suatu peristiwa atau kejadian, bentuk struktur dan tugas organisasi atau laporan kegiatan. Untuk memperjelas uraian, karangan ini dapat dilengkapi dengan grafik atau gambar.

 

c.       Deskripsi

Deskripsi diambil dari bahasa Inggris yaitu description. Kata ini berhubungan dengan verba to describe (melukis dengan bahasa). Dalam bahasa latin, deskripsi dikenal dengan describere yang berarti ’menulis tentang’ membeberkan sesuatu hal, melukis sesuatu hal (Finoza, 2004, hlm. 197-198). Deskripsi adalah tulisan yang tujuannya memberikan perincian atau detail tentang objek sehingga dapat memberi pengaruh pada sentivitas dan imajinasi pembaca atau pendengar bagaikan mereka ikut melihat, mendengar, merasakan, atau mengalami langsung objek tersebut (Semi, 2003, hlm. 41).

Deskripsi bertujuan menyampaikan sesuatu hal dalam urutan atau rangka ruang dengan maksud untuk menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca segala sesuatu yang dilihat, didengar, dicecap, diraba, atau dicium oleh pengarang. (Widyamartaya, 1992, hlm. 9-10). Jadi, deskripsi adalah bentuk tulisan yang bertujuan memperluas pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan jalan melukiskan hakikat objek yang sebenarnya.

Supaya karangan ini sesuai dengan penulisannya, diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan realistis dan pendekatan impresionistis. Penulis ditutut memotret hal atau benda seobjektif mungkin sesuai dengan keadaan yang dilihatnya, dinamakan pendekatan realistis. Sebaliknya, pendekatan impresionistis adalah  pendekatan yang berusaha menggambarkan sesuatu secara subjektif  (Finoza, 2004, hlm. 197-198).

Menurut Semi (2003, hlm. 41), deskripsi ini merupakan ekposisis juga, sehingga ciri umum yang dimiliki oleh ekposisi pada dasarnya dimiliki pula oleh deskripsi. Lebih lanjut, Semi (2003, hlm. 41) mengatakan bahwa ciri-ciri deskripsi yang sekaligus sebagai pembeda dengan ekposisi adalah sebagai berikut.

1)        Deskripsi lebih berupaya memperlihatkan detail atau perincian tentang objek.

2)        Deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivitas dan membentuk imajinasi pembaca.

3)        Deskripsi disampaikan dengan gaya yang nikmat dengan pilihan kata yang menggugah; sedangkan ekposisi gayanya lebih lugas.

4)        Deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu yang dapat didengar dilihat, dan dirasakan sehingga objeknya pada umumnya berupa benda, alam, warna, dan manusia.

5)        Organisasi penyampaiannya lebih banyak menggunakan susunan ruang (spartial order).

 

Di antara ciri-ciri tersebut yang tidak dimiliki oleh ekposisi adalah gaya yang indah dan memikat sehingga memancing sesitivitas dan imajinasi pembaca atau pendengar. Ada pula deskripsi yang disampaikan dengan bahasa yang lugas dan juga tidak memancing sensitivitas pembaca, tapi menekankan pada perincian atau detail dengan mengajukan pembuktian atau banyak contoh (misalnya deskripsi tentang keadaan ruang praktik atau  deskripsi tentang keadaan daerah yang dilanda tsunami). Oleh sebab itu, karangan deskripsi dibagi atas dua, yaitu deskripsi ekpositoris (deskripsi teknis) dan deskripsi artistik (disebut juga deskripsi literer, impresionistik, atau sugestif) (Semi, 2003, hlm. 43).

 

 

d.      Argumentasi

Argumentasi adalah tulisan yang bertujuan menyakinkan atau membujuk pembaca tentang pendapat atau penyataan penulis (Semi, 2003, hlm. 47). Menurut Widyamartaya (1992, hlm. 9-10), argumentasi bertujuan menyampaikan gagasan berupa data, bukti hasil penalaran, dan sebagainya dengan maksud untuk menyakinkan pembaca tentang kebenaran pendirian atau kesimpulan pengarang atau untuk memperoleh kesepakatan pembaca tentang maksud pengarang. Tujuan utama karangan ini adalah untuk menyakinkan pembaca agar menerima atau mengambil suatu dokrin, sikap, dan tingkah laku tertentu. Adapun ciri-ciri karangan narasi menurut Finoza (2004, hlm. 207), yaitu:

1)        Mengemukakan alasan atau bantahan sedemikian rupa dengan tujuan mempengaruhi keyakinan pembaca agar menyetujuinya;

2)        Mengusahakan suatu pemecahan masalah; dan

3)        Mendiskusikan suatu persoalan tanpa perlu mencapai suatu penyelesaian.

 

Menurut Semi (2003, hlm. 48), ciri-ciri pengembangan karangan argumentasi-sekaligus merupakan juga ciri pembeda dengan ekposisi adalah  sebagai berikut:

1)        Bertujuan menyakinkan orang lain (ekposisi memberi informasi);

2)        Berusaha membuktikan suatu penyataan atau pokok persoalan (ekposisi hanya menjelaskan);

3)        Menggugah pendapat pembaca (ekposisi meyerahkan keputusan kepada pembaca); dan

4)        Fakta yang ditampilkan merupakan bahan pembuktian (ekposisi menggunakan fakta sebagai alat mengkongkretkan).

Berdasarkan pendapat di atas, argumentasi merupakan karangan yang berusaha menjelaskan suatu masalah dengan menyajikan alasan-alasan. Ketika mengembangan karangan ini, Penulis harus menganalisis dan menjelaskan suatu masalah secara terperinci dan mendalam, alasan-alasan yang dikemukakan harus didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Dengan kata lain, argumen adalah suatu proses bernalar. Pengarang dapat dapat menggunakan penalarannya dengan metode deduktif induktif. Deduktif merupakan metode benalar yang bergerak dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal atau pernyataan yang bersifat khusus. Sebaliknya, induktif adalah metode benalar yang dimulai dengan mengemukakan penyatan yang bersifat khusus kemudian diiringi dengan kesimpulan umum.  Pengarang dapat mengajukan penalarannya berdasarkan contoh-contoh, analogi, akibat ke sebab, sebab ke akibat,  dan pola-pola deduktif  ke induktif. 

Argumentasi dan ekposisi merupakan bentuk atau jenis tulisan yang paling banyak digunakan di dalam tulisan-tulisan ilmiah. Karangan ini bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat atau  kesimpulan dengan data atau fakta sebagai alasan atau  bukti. Dalam karangan ini, pengarang mengharapkan pembenaran pendapatnya dari pembaca. Adanya unsur opini dan data, juga fakta atau alasan merupakan penyokong opini tersebut.

 

B.       Pendekatan Pembelajaran Kontekstual

1.    Pengertian CTL 

Pendekatan kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Contextual Learning (CTL) adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan kehidupan sehari-hari siswa (Johnson, 2006, hlm. 65).

Hull‟s dan Sounders (dalam Komalasari, 2013, hlm. 6) menjelaskan bahwa didalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dunia nyata. Siswa menyangkutkan konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual menghendaki kerja sebuah tim, misalnya di sekolah, di tempat kerja, maupun di rumah. Pembelajaran kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan.

 

Sedangkan menurut Saud (2006, hlm. 38) CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupannya.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis, dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya (Nurhadi, dkk., 2004, hlm. 4).

Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran kontekstual di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi yang telah dipelajari dengan kehidupan nyata yang sehari-harinya dialami oleh siswa, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat yang pada akhirnya bertujuan untuk menemukan arti dan makna materi yang telah dipelajari bagi kehidupan siswa sehari-hari.

 

2.    Komponen-komponen CTL

Menurut Nurhadi (2002, hlm. 9) pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pependekatanan (pendekatanling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).  Berikut penjelasan komponen-komponen pendekatan CTL tersebut.

 

 

a.       Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) bukan secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat kata-kata, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.

Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan kontruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan, untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan (1) menjadikan pengetahuan yang relevan dan bermakna bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

 

b.    Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pendekatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta–fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan.

Siklus inkuiri meliputi tahapan yaitu :

(1)   Observasi (observation),

(2)   Bertanya (questioning),

(3)   Mengajukan dugaan (hiphotesis),

(4)   Mengumpulkan data (data gathering),

(5)   Penyimpulan (conclusion).

 

Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri) meliputi:

(1)   Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun);

(2)   Mengamati atau melakukan observasi;

(3)   Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya;

(4)   Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.

 

c.    Bertanya (Questioning)

Questioning (bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:

(1)   Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis;

(2)   Mengecek pemahaman siswa;

(3)   Membangkitkan respon kepada siswa;

(4)   Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;

(5)   Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa;

(6)   Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;

(7)   Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan

(8)   Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

Questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya.  

 

d.   Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang  lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu dengan yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.

Masyarakat belajar terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

Pendekatan pembelajaran dengan teknik learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud berupa :

(1)   Pembentukan kelompok kecil;

(2)   Pembentukan kelompok besar;

(3)   Mendatangkan ahli ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, dsb.);

(4)   Bekerja dengan kelas sederajat;

(5)   Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya;

(6)   Bekerja dengan masyarakat.  

 

e.     Pendekatan (Approaching)

Dalam pendekatan CTL guru bukan satu-satunya pendekatan. Pendekatan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara menggunakan alat peraga. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai pendekatan. Pendekatan juga dapat didatangkan dari luar.

 

 

f.     Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.

Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa :

(1)   Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu;

(2)   Catatan atau jurnal di buku siswa;

(3)   Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran itu;

(4)   Diskusi; dan

(5)   Hasil karya.

 

g.    Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)

Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan belajar, maka guru segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir  periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (US / UN), tetapi dilakukan bersama secara integral tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa.

Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya pada sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan melulu hasil. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Dengan demikian sebagai penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang lain.

 

3.    Karakteristik Pembelajaran CTL

Suyitno (2004, hlm. 32-33) mengemukakan tentang karakteristik pendekatan pembelajaran CTL, bahwa dalam proses pembelajaran CTL harus nampak beberapa ciri-ciri, yaitu:

(1) antar siswa perlu kerja sama; (2) saling menunjang; (3) menyenangkan dan tidak membosankan; (4) belajar dengan gairah/minat yang tinggi; (5) terintegrasi; (6) menggunakan berbagai sumber; (7) siswa aktif;  (8) sharing dengan teman; (9) siswa kritis dan guru kreatif; (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, artikel, humor, dan lain-lain; (11) laporan kepada orang tua bukan hanya raport, tetapi juga hasil karya siswa, hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain, dikemas dalam portopolio; dan (12) menggunakan penilaian sebenarnya.

 

Pendapat lain mengenai karakteristik pendekatan pembelajaran kontekstual dikemukakan oleh Sanjaya (2006, hlm. 254) dengan lima karakteristik pembelajarannya yang dapat diterapkan dalam pembelajaran keterampilan menulis, yaitu:

(1) pengaktifan pengetahuan yang ada (activating knowledge); (2) pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya (acquiring knowledge); (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) dengan  cara menyusun konsep sementara, meminta tanggapan atau pendapat orang lain, dan merevisi serta mengembangkan konsep tersebut; (4) mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge); dan (5) melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan (reflecting knowledge).

 

Dari beberapa pendapat di atas mengenai karakteristik pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dikemukakan bahwa konteks riil proses pembelajaran menulis karangan harus memunculkan unsur-unsur yang secara langsung maupun tidak langsung dalam pendekatan pembelajaran kontekstual, antara lain unsur kerjasama, saling menunjang, pengaktifan pengetahuan, aplikasi serta refleksi dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa.

 

4.        Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

Setiap pendekatan pendekatan pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan dari jenis pendekatan yang digunakan tersebut, begitu pula dengan pendekatan CTL Berikut dipaparkan kelebihan dan kekurangan dari pendekatan CTL/.

a.       Kelebihan CTL (Contextual Teaching and Learning)

Menurut Anisah (2009, hlm. 1) ada 2 (dua) kelebihan pendekatan pembelajaran kontekstual, yaitu :

1)      Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukansaja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.

2)      Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan pendekatan pembelajaran CTL adalah aktivitas siswa lebih aktif dalam proses kegiatan pembelajaran dan pengetahuan siswa berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, sedangkan guru hanya bersifat sebagai fasilitaror dalam kegiatan pembelajaran tersebut.

 

 

 

 

b.      Kelemahan CTL (Contextual Teaching and Learning)

Menurut Anisah (2009, hlm. 1) kelemahan pendekatan pembelajaran CTL antara lain :

1)      Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam pendekatan CTL, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.

2)      Peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.

3)      Guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang eksra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.

 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelemahan pendekatan pembelajaran contextual teaching learning (CTL) adalah guru harus dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tecapai dengan maksimal.

 

5.    Metode Resitasi

a.      Pengertian Metode Resitasi

Kata resitasi bukanlah kata Indonesia asli tetapi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu “Recitation” yang berarti menceritakan kembali. Setelah istilah tersebut masuk ke Indonesia dan diterima maka timbullah bermacam-macam pengertian bertolak dari pikiran yang menafsirkannya.

Karo-Karo (1981, hlm. 39), menyatakan bahwa “Resitasi atau recitation adalah penyajian kembali apa yang dimiliki, diketahui atau dipelajari. Sedangkan menurut Sumantri dan Permana (2001, hlm. 130) mengemukakan bahwa: “Metode pemberian tugas atau penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan peserta didik di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok.

 

Pendapat yang sama tentang metode penugasan sebagimana dikemukakan oleh Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2006, hlm. 85) bahwa metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.

Terdapat pengertian lain dari metode resitasi yaitu yang dijelaskan oleh Mulyasa (2007, hlm. 113) bahwa “metode penugasan merupakan cara penyajian bahan pelajaran, dimana guru memberikan seperangkat tugas yang harus dikerjakan siswa, baik secara individual maupun secara kelompok”.

Dari beberapa pendapat di atas tentang metode resitasi (penugasan) dapat dikemukakan, bahwa metode resitasi adalah suatu metode pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru setelah menjelaskan suatu pokok bahasan atau materi dan akhirnya dari tugasnya itu siswa dituntut untuk melaporkan hasilnya. Dari tugas yang diberikan, siswa mendapatkan umpan balik dari guru yaitu setelah siswa selesai mengerjakan tugas-tugasnya kemudian soal-soal itu dibahas/dikoreksi bersama-sama serta beberapa siswa sebagai bentuk tanggung jawabnya diberi kesempatan untuk mengerjakan hasil tugas tersebut di depan kelas. Laporan hasil belajar siswa ini berupa nilai yang harus dilaporkan kepada guru, dengan demikian mereka akan lebih termotivasi untuk belajar.

 

b.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Resitasi

Sebagaimana metode pembelajaran yang lain, metode resitasi (penugaan) mempunyai kelebihan dan kekurangan. Adapun beberapa kelebihan dari metode resitasi menurut Sumantri dan Permana (2001, hlm. 131), yaitu:

(1) Membuat peserta didik aktif belajar, (2) Merangsang peserta didik belajar lebih banyak, baik pada saat dekat dengan guru maupun pada saat jauh dari guru di dalam sekolah maupun di luar sekolah, (3) Mengembangkan kemandirian peserta didik, (4) Lebih meyakinkan tentang apa yang dipelajari dari guru, lebih memperdalam, memperkaya atau memperluas tentang apa yang dipelajari, (5) Membina kebiasaan peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi dan komunikasi, (6) Membuat peserta didik bergairah belajar karena dapat dilakukan dengan bervariasi, (7) Membina tanggung jawab dan disiplin peserta didik, dan (8) Mengembangkan kreativitas peserta didik.

 

Sedangkan menurut Djamarah dan Zain (2006, hlm. 87), kelebihan dari metode resitasi, yaitu: 1) Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok, 2) Dapat mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan guru, 3) Dalam membina tanggung jawab dan disiplin siswa, dan 4) Dapat mengembangkan kreativitas siswa.

Sejalan dengan pendapat di atas tentang kelebihan metode resitasi, Sumantri dan Permana (1999, hlm. 52) mengemukakan bahwa:

(1) Metode pemberian tugas dapat membuat siswa aktif belajar, (2) Tugas lebih merangsang siswa untuk lebih banyak, baik waktu dikelas maupun diluar kelas atau dengan lain, baik siswa dekat dengan guru maupun jauh dengan guru, (3) Metode ini dapat mengembangkan kemandirian siswa yang diperlukan dalam kehidupannya, (4) Tugas lebih meyakinkan tentang apa yang akan dipelajari dari guru, lebih memperdalam, memperkaya, atau memperluas pandangan tentang apa yang dipelajari, (5) Tugas dapat membina kebiasaan siswa untuk mencari dan mengelola sendiri informasi dan komunikasi, (6) Metode ini dapat membuat siswa bergairah dalam belajar karena kegiatan-kegiatan belajar dapat dilakukan dengan berbagai variasi sehingga tidak membosankan, (7) Metode ini dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa, dan (8) Metode ini dapat mengembangkan kreativitas siswa.

 

Adapun kekurangan metode resitasi menurut Surakhmad (1997, hlm. 91) mengemukakan sebagai berikut:

1)   Siswa sering melakukan penipuan dimana siswa hanya meniru atau menyalin hasil pekerjaan orang kain tanpa mengalami peristiwa belajar;

2)   Adakalanya tugas ini dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan;

3)   Apabila tugas terlalu sering diberikan, apalagi tugas-tugas tersebut sukar dikerjakan siswa, ketenangan mental mereka dapat terpengaruh, dan

4)   Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual.

 

Sedangkan menurut Djamarah dan Zain (2006, hlm. 87), ada beberapa kekurangan metode resitasi antara lain:

1)   Siswa sulit dikontrol, apakah benar dia yang mengerjakan tugas ataukah orang lain, 2) Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikannya adalah anggota tertentu saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik, 3) Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa, 4) Sering memberikan tugas yang menonton (tak bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa, 5) Seringkali anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya menitu hasil pekerjaan orang lain tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri, dan 6) Terkadang tugas itu dikerjakan orang lain tanpa pengawasan.

 

Penggunaan metode resitasi akan efektif dan berhasil baik apabila ada upaya untuk mengatasi kekurangan dari metode tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan guru untuk mengefektifkan metode resitasi agar berhasil dengan baik antara lain:

1)      Untuk menghindari penipuan yang dilakukan siswa, guru dapat menyuruh siswa untuk mengerjakan tugas ke depan kelas, sehingga guru dapat menilai tingkat pemahaman siswa, atau dengan cara pengecekan keliling sehingga guru dapat memantau pekerjaan siswa.

2)      Untuk menghindari tugas siswa yang dikerjakan orang lain, guru dapat memperbanyak tugas di sekolah daripada tugas di rumah.

3)      Tugas-tugas yang diberikan terbatas dan jelas pada apa yang menjadi masalah atau yang perlu dipecahkan.

4)      Memberikan tugas dengan memperhitungkan taraf kesukaran soal dengan kemampuan siswa.

 

c         Penerapan Metode Resitasi dalam Pembelajaran

Tujuan dari pemberian tugas ini adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Dengan kegiatan melaksanakan tugas, siswa akan aktif belajar dan terangsang untuk meningkatkan belajar. Banyaknya tugas yang harus dikerjakan siswa, diharapkan mampu menyadarkan siswa untuk memanfaatkan waktu senggang untuk hal-hal yang menunjang belajarnya.

Tampaknya pemberian tugas kepada siswa untuk diselesaikan di rumah, di laboratorium maupun di perpustakaan cocok dalam hal ini, karena dengan tugas ini akan merangsang siswa untuk melakukan latihan-latihan atau mengulangi materi pelajaran yang baru didapat di sekolah atau sekaligus mencoba ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, serta membiasakan diri siswa mengisi waktu luangnya di luar jam pelajaran. Dengan sendirinya telah berusaha memperdalam pemahaman serta pengertian tentang materi pelajaran. Setelah siswa selesai melaksanakan tugas yang diberikan, mereka harus mempertanggungjawabkan hasil yang telah mereka peroleh seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.

Menurut Hudoyo (1990, hlm. 5) dikatakan bahwa teori stimulus-respon (S-R) dari Thorndike mendukung dalam hal ini, yaitu:

Prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S diberikan kepada obyek maka terjadilah R. Dengan latihan, asosiasi antara S dan R menjadi otomatis. Lebih sering asosiasi antara S dan R digunakan makin kuatlah hubungan yang terjadi, makin jarang hubungan S dan R dipergunakan makin lemahlah hubungan itu.

 

Berikut ini tahap-tahap pelaksanaan metode resitasi dalam pembelajaran, seperti dikemukakan oleh Surakhmad (1997, hlm. 91) sebagai berikut:

1)      Guru memberikan tugas.

2)      Siswa melaksanakan tugas (belajar).

3)      Siswa mempertanggungjawabkan kepada guru apa yang telah mereka pelajari.

Dalam tahap pemberian tugas pada pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan metode resitasi, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:

1)      Tujuan yang jelas

Agar hasil belajar siswa memuaskan, guru perlu merumuskan tujuan yang jelas yang akan dicapai siswa. Sifat dari tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

a)      Merangsang agar siswa berusaha lebih baik dan memupuk inisiatif.

b)      Bertanggung jawab dan berdiri sendiri.

c)      Membawa kegiatan-kegiatan sekolah kepada minat siswa yang terluang.

d)     Memperkaya pengalaman-pengalaman sekolah melalui kegiatan-kegiatan di luar sekolah.

e)      Memperkuat hasil belajar di sekolah dengan menyelenggarakan latihan-latihan.

 

 

2)      Petunjuk-petunjuk yang jelas.

Tugas yang harus dilakukan oleh siswa harus jelas. Guru harus menjelaskan aspek-aspek yang perlu dipelajari siswa, agar siswa tidak merasa bingung mana yang harus dipentingkan. Adapun langkah-langkah agar siswa memahami dalam tahap pelaksanaan tugas yang diberikan guru, yaitu:

a)      Diberikan bimbingan/pengawasan oleh guru.

b)      Diberikan dorongan sehingga siswa mau bekerja.

c)      Diusahakan/dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain.

d)     Dianjurkan agar siswa mencatat hasi-hasil yang diperoleh dengan baik dan sistematis.

e)      Setelah siswa selesai melaksanakan tugas yang diberikan, mereka harus mempertanggungjawabkan hasil yang telah mereka peroleh seperti yang telah dikemukakan di depan.

 

6.    Pendekatan Kontekstual melalui Metode Resitasi dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis

 

Keterampilan menulis mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Namun demikian, pembelajaran menulis di sekolah-sekolah ternyata belum endapat tempat yang cukup. Pembelajaran menulis hanya mendapat porsi waktu yang sedikit dibandingkan dengan pembelajaran kebahasaan yang lainnya. Selain itu, guru hanya berorientasi untuk melihat hasil tulisan siswa tanpa membelajarkan proses menulis pada siswa. Akhirnya, tujuan pembelajaran menulis hanya mengarah pada pencapaian kemampuan menulis siswa (Kusmiatun, 2005, hlm. 133).

Pembelajaran menulis dikaitkan dengan konteks kehidupan peserta didik, agar memungkinkan mereka belajar menerapkan isi pembelajaran dalam pemecahan problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Wagiran, 2005, hlm. 172). Pembelajaran keterampilan menulis dengan pendekatan kontekstual berorientasi pada keterampilan menulis sebagai suatu proses. Pembelajaran keterampilan menulis yang berorientasi pada proses memiliki langkah-langkah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Douglas (1994, hlm. 335-336), yakni: (1) pusatkan perhatian pada proses menulis yang mengarah pada hasil akhir; (2) bantulah para siswa untuk memahami proses menulis mereka; (3) bantulah mereka untuk membuat judul-judul strategi tahapan pramenulis (prewriting), membuat konsep (drafting), dan menulis kembali (rewriting); (4) berikan waktu pada siswa untuk menulis (write) dan menulis kembali (rewrite); (5) letakkan kepentingan utama pada proses revisi; (6) biarkan siswa menemukan apa yang ingin mereka katakan ketika mereka menulis; (7) berikanlah pada siswa umpan balik melalui proses mengarang (bukan hanya hasil akhir) ketika mereka berusaha mengungkapkan perasaan yang semakin dekat dengan tujuan; (8) dapatkan umpan balik dari guru dan teman-teman mereka; (9) adakan diskusi individual antara guru dan siswa selama proses menulis.

Adapun langkah-langkah atau tahapan pendekatan pembelajaran kontekstual meliputi empat tahap, yaitu:

a)      Tahap invitasi, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awal tentang konsep yang dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan problematik tentang kehidupan sehari-hari, melalui kaitan konsep-konsep yang dibahas dengan pendapat mereka sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengikutsertakan pemahaman tentang konsep yang dibahas.

b)      Tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasi, penginterpretasikan data dalam sebuah kegiatan yang telah dirancang guru. Secara berkelompok siswa melakukan kegiatan diskusi tentang masalah yang dibahas. Tahap ini akan memenuhi rasa ingin tahu tentang fenomena kehidupan nyata di luar alam sekitar.

c)      Tahap penjelasan atau solusi, pada saat siswa memberikan penjelasan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan dari guru, membuat pendekatan, dan membuat rangkuman serta ringkasan hasil pekerjaan.

d)     Tahap pengambilan tindakan, siswa dapat membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan saran secara individual maupun secara kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.

Suyitno (2004, hlm. 33) mengungkapkan ada 7 langkah yang perlu ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran, yaitu :

(1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik; (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya; (4) Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok); (5) Hadirkan ‘pendekatan’ sebagai contoh pembelajaran; (6) Lakukan refleksi diakhir pertemuan; dan (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Dari pendapat di atas mengenai langkah-langkah pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dikemukakan bahwa pada proses pembelajaran anak cenderung untuk diarahkan pada kemandirian dalam memperoleh berbagai informasi yang dipersyaratkan dalam proses pembelajaran tersebut. Dengan menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual, secara bertahap dan berkesinambungan akan menuju pada proses kemandirian sesuai dengan realita yang ada.

 

C.      Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan studi terhadap beberapa hasil penelitian, secara umum diperoleh gambaran bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang dilaksanakan di Sekolah Dasar (SD), memberikan hasil yang positif, baik pada aspek aktivitas maupun hasil belajar siswa.

Berikut dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian penulis.

1.      Penelitian relevan pertama

Faozie, Anne Widianti (2013) dengan judul penelitian “Peningkatan Kemampuan Memahami Paragraf dalam Wacana Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual bagi Siswa Kelas VI A SDN Jatayu Bandung”.

Penelitian ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa bagaimanakah penerapan pendekatan kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa dalam memahami paragraf dalam wacana Bahasa Indonesia di SDN Jatayu Bandung. Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Pembelajaran di kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar 'baru' yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Tujuan kegiatan penelitian dalam peningkatan kemampuan memahami paragraf dalam wacana bahasa indonesia melalui pendekatan pembelajaran kontekstual bagi siswa kelas VI A SDN Jatayu Bandung adalah: 1) Untuk memperoleh gambaran obyektif tentang kemampuan siswa kelas VI A pada pelajaran Bahasa Indonesia tentang konsep memahami paragraf dengan menggunakan pendekatan kontekstual. 2) Untuk mengetahui tentang pelaksanaan aktivitas guru dan siswa kelas VI A yang ditemukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan konstektual. 3) Untuk mengatahui hasil belajar siswa setelah menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilakuakan di SDN Jatayu Bandung dengan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus pertama dilaksanakan dalam dua tindakan dan siklus yang kedua satu tindakan. Setiap siklus dimulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan hasil penelitian, pembahasan, dan refleksi. Hasil pelaksanaan penelitian terlihat pada pelaksanaan Siklus I dan II yang menunjukkan kemampuan siswa yang mengalami perkembangan yang lebih baik. Kemampuan siswa pada siklus I hanya mencapai nilai rata-rata 85, 18, sedangkan pada siklus ke II meningkat menjadi 90,26. Hasil penelitian membuktikan bahwa pembelajaran kontekstual yang telah dilaksanakan berhasil dan sangat berkesan, siswa dan guru bersikap positif terhadap pelaksanaan pembelajaran. Inovasi dalam pembelajaran dengan memasukkan strategi kontekstual dapat meningkatkan minat dan kemapuan hasil belajar pada siswa. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi motivasi bagi para guru untuk lebih berinovasi dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran yang aktif, inovatif kreatif, dan menyenangkan lainnya.

 

2.      Penelitian relevan kedua

Pajrina, Putri Nur (2013) dengan judul penelitian “Meningkatkan Ketrampilan Menyimak Cerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).

 Penelitian ini dilatarbelakangi rendahnya keterampilan menyimak siswa yang didukung juga dari data rekapan nilai pada mata pelajaran Bahasa Indonesia baik dari semester 1 dan 2. Hal ini ditandai dengan banyak nilai siswa yang belum mencapai KKM yang ditetapkan yaitu 65. Penelitian ini ditujukan pada penggunaan pendekatan contextual teaching and learning (CTL) dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pokok bahasan menyimak cerita kemudian siswa membuat rangkuman. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: (1) Perencanaan pembelajaran Bahasa Indonesia materi menyimak cerita melalui pendekatan contextual teaching and learning (CTL), (2) Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia materi menyimak cerita melalui pendekatan contextual teaching and learning (CTL) dan (3) Peningkatan keterampilan menyimak cerita peserta didik pada pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pendekatan contextual teaching and learning (CTL). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang mengadaptasi pendekatan Kemmis & Mc. Taggart dengan tiga siklus yang pada setiap siklusnya dilakukan satu kali tindakan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V Semester II SDN 4 Cibodas Lembang Kabupaten Bandung Barat yang berjumlah 30 orang. Hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning (CTL) pada pembelajaran Bahasa Indonesia menunjukkan adanya peningkatan proses pembelajaran. Pada siklus I nilai rata-rata siswa mencapai 60. Pada siklus II mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata siswa mencapai 68,17, pada siklus II ini nilai rata-rata sudah mencapai nilai KKM yang ditetapkan yaitu 65. Sedangkan pada siklus III mengalami peningkatan kembali dengan nilai rata-rata siswa mencapai 73,67. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan contextual teaching and learning (CTL) dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi menyimak cerita. Berdasarkan hasil penelitian di SDN 4 Cibodas, peneliti ingin memberikan saran kepada: (1) guru hendaknya agar lebih meningkatkan wawasan teantang pendekatan dan strategi pembelajaran, (2) kepala sekolah hendaknya senantiasa memberikan dukungan kepada guru untuk terus meningkatkan pengajaran dan melakukan perbaikan-perbaikan dan (3) pihak-pihak yang terkait dalam dunia pendidikan agar kiranya diadakan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan penggunaan strategi belajar pendekatan contextual teaching and learning g (CTL).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu tentang penerapan pendekatan contextual teaching and learning (CTL) pada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, secara nyata positif dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan siswa. Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian yang sedang peulis kaji adalah adanya keterkaitan tentang penerapan pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan contextual teaching and learning (CTL). Penerapan pendekatan contextual teaching and learning (CTL) melalui metode penugasan yang diterapkan penulis dalam pembelajaran menulis karangan, akan berdampak positif terjadinya peningkatan pada perencanaan, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa di SDN Trijaya Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan.

 

D.      Hipotesis Tindakan

Berdasarkan rumusan masalah, kajian pustaka, dan hasil penelitian yang relevan yang telah diuraikan sebelumnya, hipotesis tindakan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: “Jika pendekatan pembelajaran CTL melalui metode penugasan diterapkan pada pembelajaran menulis karangan, maka dapat meningkatkan proses dan hasil belajar pada siswa kelas IV SDN Trijaya, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan”.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anisah. (2008). Kelemahan dan Kelebihan CTL dan Pakem. (http://anisah89.blogspot.com/2009/02/kelemahan-dan-kelebihan-ctl-dan-pakem.html. diunduh tanggal 02 Februari 2015).

Djamarah,SA & Zain, A. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Djuanda, Dadan. (2007). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif dan Menyenangkan. Depdiknas. Jakarta.

Douglas, Brown, H. (2001).  Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. White Plains NY 10606: Addisson Wesley Longman, Inc.

Faozie, Anne Widianti. (2013). Peningkatan Kemampuan Memahami Paragraf dalam Wacana Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual bagi Siswa Kelas VI A SDN Jatayu Bandung. Skripsi UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Hudoyo, Herman. (1990). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

Johnson, Elaine B. (2011). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.

Karo–Karo,Ulihbukit.(1981). Metodologi Pengajaran.Salatiga: CV. Saudara.

Komalasari, Kokom. (2011). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. RefikaAditama.

Kusmiatun, Ari. (2005). “Harmoni Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual dalam Pembelajaran Menulis”. Menuju Budaya Menulis (Suatu Bunga Rampai). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muchlisoh, dkk (1992). Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Depdikbud.

Nurhadi & Senduk, A.G. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbut UNM.

Nurhadi, 2002. Pendekatan Kontekstual (Contectual Teaching and Learning). Malang: Universitas Malang.

Pajrina, Putri Nur. (2013). Meningkatkan Ketrampilan Menyimak Cerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)). Skripsi UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Sumantri, M, dan Permana J, (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.

Supriyadi. (1996). Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Depdikbud.

Surakhmad, Winarno. (1997). Pengantar Interaksi Mengajar. Bandung: Tarsito.

Suriamiharja, Agus, dkk. (1997). Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta: Depdikbud.

Suyitno, Amin. 2004. Pendekatan Pembelajaran Matematika. Semarang: Depdiknas.

Tarigan, Henry Guntur. (1995). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa.Bandung.

Wagiran. (2005). Implementasi Life Skill dalam Pembelajaran Menulis. Menuju Budaya Menulis (Suatu Bunga Rampai). Yogyakarta: Tiara Wacana.

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Soal UJian Sekolah Kelas 6 IPA 2024

  PENILAIAN SUMATIF AKHIR JENJANG (PSAJ) TAHUN PELAJARAN 2 023 / 2 024   Mata Pelajaran                          : IPA Kelas/Semest...