BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar
1.
Pengertian Menulis
Ada
beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian menulis yaitu sebagai
berikut “Menulis adalah membuat huruf (angka) dengan pena melahirkan pikiran
dan perasaan (seperti menulis, membuat surat)” (Depdikbud, dalam Djuanda, 2007,
hlm. 179).
Hal
lain tentang pengertian menulis dikemukakan oleh Tarigan (1995, hlm. 180)
sebagai berikut:
Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang
grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga
orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami
bahasa gambar itu.
Sebagaimana
pendapat Suriamiharja (dalam Djuanda, 2007, hlm. 180), ”Menulis adalah kegiatan
melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan”. Dengan demikian menulis adalah
berkomunikasi mengungkapkan pikiran, perasaan dan kehendak kepada orang lain
secara tertulis.
Sedangkan
Lado (dalam Suriamiharja, 1997, hlm. 1) mengatakan “Menulis adalah menempatkan
simbol-simbol grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dimengerti oleh
seseorang, kemudian dapat dibaca oleh orang lain yang memahami bahasa tersebut
beserta simbol-simbol grafisnya”.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah kemampuan
seseorang dalam melahirkan gagasan, pikiran, perasaan dan kehendak kepada orang
lain yang berupa tulisan. Menulis yang dipandang sebagai kegiatan seseorang
menempatkan sesuatu pada sebuah dimensi ruang kosong adalah salah satu
kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa tulis. Kemampuan menulis itu
tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dengan kemampuan lain.
Menulis itu berhubungan dengan membaca, wicara, dan menyimak. Baik menulis
maupun membaca, mewicara dan menyimak memiliki fungsi untuk manusia dalam
mengkomunikasikan pesan melalui bahasa.
2.
Fungsi Menulis
Fungsi
menulis menurut Tarigan (1986), bahwa dalam kegiatan bahasa menulis memiliki
fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi secara tertulis dan tidak langsung.
Tulisan dapat membantu menjelaskan pikiran-pikiran kita (dalam Djuanda, 2007,
hlm. 180).
Hal
yang sama dikemukakan oleh Rusyana (dalam Djuanda, 2007, hlm. 181), bahwa menulis
juga memiliki fungsi lain, yaitu :
a.
Fungsi penataan
Ketika menulis terjadi penataan terhadap gagasan,
pikiran, pendapat, imajinasi dan yang lainnya, serta terhadap penggunaan bahasa
untuk mewujudkannya.
b.
Fungsi pengawetan
Menulis mempunyai fungsi untuk mengawetkan pengutaraan sesuatu
dalam wujud dokumen tertulis.
c.
Fungsi penciptaan
Dengan menulis kita menciptakan sesuatu yang mewujudkan
sesuatu yang baru.
d.
Fungsi penyampaian
Penyampian itu bukan saja kepada orang lain yang
berdekatan tempatnya melainkan juga kepada orang yang berjauhan. Malah
penyampian itu dapat terjadi pada masa yang berlainan
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa fungsi menulis itu bukan hanya untuk
berkomunikasi secara tertulis atau tidak langsung saja, tetapi juga menulis
berfungsi sebagai penataan, pengawetan, penciptaan dan penyampaian kepada orang
lain yang tidak dibatasi oleh tempat maupun waktu.
3.
Tujuan Menulis
Hartig
(dalam Tarigan, 1995, hlm. 24) mengemukakan tujuan menulis yaitu sebagai berikut:
a.
Assigenmenit purpose (tujuan penugasan)
Penulis tidak mempunyai tujuan untuk apa dia menulis. Penulis
hanya menulis tanpa mengetahui tujuannya. Dia menulis karena mendapat tugas,
bukan atas kemauan sendiri.
b.
Altruistic purpose (tujuan altruistik)
Penulis bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, menghindarkan
kedudukan para pembaca, ingin menolong para pembaca memahami, menghargai
perasaan dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan
lebih menyenangkan dengan karyanya itu. Penulis harus berkeyakinan bahwa
pembaca adalah “teman” hidupnya. Sehingga penulis benar-benar dapat
mengomunikasikan suatu ide atau gagasan bagi kepentingan pembaca. Hanya dengan
cara itulah tujuan altruistik dapat dicapai.
c.
Persuasive purpose (tujuan persuasif)
Penulis bertujuan mempengaruhi pembaca, agar pembaca yakin akan
kebenaran gagasan atau ide yang dituangkan atau diutarakan oleh penulis.
d.
Informational purpose (tujuan imformasional atau
tujuan penerangan)
Penulis menuangkan ide atau gagasan dengan tujuan memberi
informasi atau keterangan kepada pembaca. Di sini penulis berusaha menyampaikan
informasi agar pembaca menjadi tahu mengenai apa yang diinformasikan oleh
penulis.
e.
Self expressive purpose (tujuan pernyataan diri)
Penulis berusaha untuk memperkenalkan dirinya sendiri kepada
para pembaca dengan melalui tulisannya, pembaca dapat memahami “siapa”
sebenarnya sang penulis itu.
f.
Creative purpose (tujuan kreatif)
Penulis bertujuan agar pembaca dapat memiliki nilai-nilai
artistik atau nilai-nilai kesenian dengan membaca tulisan si penulis. Di sini penulis
bukan hanya memberikan informasi melainkan lebih dari itu. Dalam informasi yang
disajikan oleh penulis, para pembaca bukan hanya sekedar tahu apa yang
disajikan oleh penulis, tetapi juga merasa terharu membaca tulisan tersebut.
g.
Problem solving purpose (tujuan pemecahan masalah)
Penulis berusaha memecahkan suatu masalah yang dihadapi dengan
tulisannya, penulis berusaha memberi kejelasan kepada para pembaca tentang
bagaimana cara pemecahan suatu masalah (dalam Muchlisoh, 1992, hlm. 234).
Dengan
demikian hasil menulis (tulisan) yang paling utama ialah dapat menyampaikan
pesan penulis kepada pembaca, sehingga pembaca memahami maksud penulis yang
dituangkan dalam tulisannya. Karena proses komunikasi ini dilakukan secara
tidak langsung tidak melalui tatap muka antara penulis dan pembaca, dan agar
tulisan ini berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh penulis, maka isi
tulisan serta lambang grafik yang dipergunakan penulis harus benar-benar
dipahami baik oleh penulis ataupun pembacanya.
4.
Jenis-jenis Menulis di Sekolah Dasar
Agar
siswa memahami cara-cara menulis berbagai hal dengan aturan-aturan penulisan,
serta mengkomunikasikan ide atau gagasan melalui tulisan, maka dalam hal ini
dapat dipelajari jenis-jenis menulis yang harus diajarkan di sekolah dasar
berdasarkan pada Kurikulum SD 2004.
Dikemukan
oleh Muchlisoh (1992, hlm. 243-266) dan Supriyadi (1996, hlm. 256-264) jenis-jenis
menulis untuk tingkat sekolah dasar di kelas IV sebagai berikut:
a.
Menulis ejaan
Menulis ejaan adalah menulis sesuai dengan ketentuan yang harus
dilaksanakan dalam menuliskan kata-kata dengan huruf. Menulis ejaan di sekolah
dasar diajarkan di kelas III dan IV.
b.
Menulis prosa di kelas IV, V, dan VI
Prosa adalah menulis karangan bebas, maksudnya penulis prosa dapat secara
bebas menuliskan apa saja yang di dalam pikirannya, tanpa harus terikat oleh
aturan-aturan tertentu. Jenis menulis prosa yaitu (a) menulis prosa narasi, (b) menulis prosa
deskripsi, (c) menulis prosa persuasi, (d) menulis argumentasi.
Sedangkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP), untuk pembelajaran bahasa Indonesia di kelas IV SD dalam aspek menulis pada
semester genap sebagai berikut:
Tabel 2.1
Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD)
Menulis di Kelas IV SD
No |
Standar
Kompetensi (SK) |
Kompetensi
Dasar (KD) |
1 |
Mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi secara
tertulis dalam bentuk karangan sederhana |
Menyusun
karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan
ejaan (huruf kapital, tanda titik, koma, dan lain-lain) |
2 |
Mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pantun anak |
Membuat
pantun anak yang menarik tentang
kepatuhan sesuai dengan ciri-ciri pantun |
3 |
Mengungkapkan
pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pengumuman |
Menulis
pengumuman dengan bahasa yang baik dan benar serta memperhatikan penggunaan
ejaan. |
4 |
Mengungkapkan
pikiran perasaan dan informasi secara tertulis dalam bentuk pantun anak |
Membuat
pantun anak yang menarik tentang ketekunan |
5 |
Mengungkapkan
pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pengumuman |
Menulis
pengumuman dengan bahasa yang baik dan benar serta memperhatikan penggunaan ejaan. |
6 |
Mengungkapkan
pikiran perasaan dan informasi secara tertulis dalam bentuk karangan |
Menyusun
karangan tentang berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan
ejaan (huruf kapital dan tanda baca) |
7 |
Mengungkapkan
pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk pengumuman |
Menulis pengumuman engan bahasa yang baik
dan benar serta memperhatikan
penggunaan ejaan |
8 |
Mengungkapkan
pikiran perasaan, dan informasi secara tertulis dalam bentuk karangan |
Menyusun karangan tentang berbagai topik
sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan yang tepat |
9 |
Mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk pengumuman |
Menyusun karangan tentang
berbagai topik sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf
besar, tanda titik, tanda koma, dll.) |
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa pada
penelitian ini difokuskan pada menulis karangan di kelas IV SD sebagaimana pada
KD, yaitu: menyusun karangan tentang berbagai topik
sederhana dengan memperhatikan penggunaan ejaan (huruf besar, tanda titik, tanda koma, dll.).
5.
Menulis sebagai suatu Keterampilan Berbahasa
Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen, yaitu
menulis, membaca, mendengar, dan berbicara. Pada bagian menulis sebagai suatu
keterampilan berbahasa akan dipaparkan sebagai berikut:
a.
Menulis sebagai
suatu Cara Berkomunikasi
Komunikasi adalah suatu proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang pasti terjadi sewaktu-waktu bila
manusia atau binatang-binatang ingin berkenalan atau berhubungan satu sama
lain. Seperti hewan-hewan lainnya maka manusia berkomunikasi melalui
gerak-gerik refleks yang sederhana dan bunyi-bunyi yang tidak berupa bahasa.
Tetapi hanya manusia sajalah yang telah mengembangkan bahasa (Webb dalam
Tarigan, 1995, hlm. 18).
Woolcatt & Unwin (dalam
Tarigan, 1995, hlm. 19), komunikasi lisan dan tulis sangat berhubungan erat
karena sifat penggunaannya yang saling berkaitan dalam bahasa. Terdapat
sejumlah situasi yang sekaligus membutuhkan kedua-duanya, dan situasi-situasi
lainnya yang membutuhkan dua bahkan tiga jenis media komunikasi tersebut.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media tulis atau keterampilan menulis
merupakan salah satu aspek penting dalam proses komunikasi setiap penulis atau
pengarang mempunyai pikiran atau gagasan yang ingin disampaikan kepada orang
lain. Dalam hal ini penulis harus dapat menterjemahkan ide-idenya itu ke dalam
sandi-sandi lisan yang selanjutnya diubah menjadi sandi-sandi tulis. Pikiran
atau gagasan sang penulis sampai ke pihak pembaca, pembaca melihat tulisan
tersebut dan menterjemahkan sandi tulis itu ke dalam sandi lisan kembali dan
mendapatkan kembali pikiran atau gagasan sang penulis. Akhirnya pembaca
memahami pikiran atau gagasan tersebut.
b.
Hubungan antara
Menulis dan Membaca
Antara
menulis dan membaca terdapat hubungan yang sangat erat. Menulis adalah kegiatan
yang bersifat produktif, sedangkan membaca merupakan kegiatan berbahasa yang
bersifat reseptif. Seseorang menulis guna menyampaikan gagasan perasaan atau
informasi dalam bentuk tulisan. Sebaliknya seseorang membaca guna memahami
gagasan, perasaan atau informasi yang disajikan dalam bentuk tulisan tersebut.
Wray
(dalam Mulyadi, 2007, hlm. 22), dalam menulis “seseorang harus melalui
tahap-tahap perencanaan dan revisi. Dalam melakukan perencanaan seringkali
penulis melakukan aktivitas membaca yang ekstensif dan intensif guna menelusuri
informasi, konsep-konsep, atau gagasan-gagasan yang akan dijadikan bagian dari
bahan tulisannya kemudian membaca, lalu menulis kembali secara berulang-ulang.
Jadi
tampak jelas bahwa kemampuan membaca sangat penting sekali bagi proses menulis.
Dengan kemampuan membaca, baik secara langsung akan menambah wawasan bagi
seorang penulis dalam mengembangkan ide-ide kedalam bentuk tulisan.
c.
Hubungan antara
Menulis dan Berbicara
Dalam
menulis dan berbicara mempunyai hubungan yang sangat erat kedua-duanya memiliki
ciri yang sama, yaitu produktif dan ekspresif. Perbedaannya ialah bahwa dalam
menulis diperlukan penglihatan dan gerak tangan, sedangkan dalam berbicara
diperlukan pendengaran dan pengucapan. Dengan kata lain, menulis merupakan
komunikasi tidak langsung, tidak tatap muka, sedangkan berbicara merupakan
komunikasi langsung, komunikasi tatap muka. Pada aspek menulis maupun berbicara
harus memperhatikan komponen-komponen yang sama, yaitu struktur kata/bahasa,
kosakata, kecepatan/kelancaran umum: bedanya ialah bahwa kalau menulis
berkaitan dengan ortografi, sedangkan berbicara berkaitan erat dengan fonologi.
Subyakto-Nababan
(dalam Mulyadi, 2007, hlm. 23) menjelaskan bahwa “berbicara maupun menulis
adalah kegiatan berbahasa yang bersifat produktif”. Berbicara merupakan
kegiatan berbahasa lisan, sedangkan menulis adalah kegiatan ragam tulis.
Kemudian kegiatan menulis pada umumnya kegiatan berbahasa tidak langsung,
sedangkan berbicara pada umumnya bersifat langsung. Ini berarti ada kegiatan
menulis yang bersifat langsung, misalnya komunikasi tulis dengan menggunakan
telepon seluler (sms) dan internet (chatting). Sebaliknya ada pula kegiatan
berbicara secara tidak langsung misalnya melalui pengiriman pesan suara melalui
telepon seluler.
d.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keterampilan Menulis
Seseorang
dapat dikatakan telah mampu menulis dengan baik jika dia dapat mengungkapkan
maksudnya dengan jelas sehingga orang lain dapat memahami apa yang
diungkapkannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (dalam Suriamiharja, 1997,
hlm. 3) sebagai berikut.
Tulisan dikemukakan oleh orang-orang terpelajar untuk merekam, meyakinkan,
melaporkan, serta mempengaruhi orang lain dan maksud serta tujuan tersebut
hanya bisa tercapai dengan baik oleh orang-orang (para penulis) yang dapat
menyusun pikirannya serta mengutarakannya dengan jelas dan mudah dipahami.
Dari teori di atas dapat
disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang penulis yang baik sekurang-kurangnya
harus memiliki kepekaan terhadap keadaan sekitarnya agar tujuan penulisannya
dapat dipahami oleh pembaca. Tarigan (dalam Suriamiharja, 1997, hlm. 3)
mengatakan bahwa, “Penulis yang ulung adalah penulis yang dapat memanfaatkan
situasi dengan tepat”.
Tarigan (Suriamiharja, 1997,
hlm. 3), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi cara penulisan seseorang
antara lain maksud dan tujuan, pembaca dan pemirsa, serta waktu dan kesempatan.
Berikut uraian faktor yang dapat mempengaruhi cara penulisan seseorang, sebagai
berikut:
a.
Maksud dan tujuan
Untuk menjadi penulis yang baik, penulis harus menentukan
maksud dan tujuan penulisannya, agar pembaca memahami ke arah mana arah tujuan
penulisan itu.
b.
Pembaca atau
pemirsa
Penulis harus melihat juga kondisi pembaca, artinya
tulisan ini ditujukan kepada pembaca yang bagaimana (dalam hal usia,
pengetahuan, minat) sehingga tulisan yang dibuatnya menjadi satu karya yang
bermakna.
c.
Waktu atau
kesempatan
Penulis juga harus memperhatikan waktu dan kesempatan,
artinya apakah tulisan yang dibuatnya sesuai dengan berlangsungnya suatu
kejadian sehingga menarik untuk dibaca.
6.
Jenis- Jenis Karangan
Mengarang merupakan
kegiatan mengemukakan gagasan secara tertulis. Menurut Syafie’ie (1988, hlm. 41), tulisan pada
hakikatnya adalah “representasi bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk visual
menurut sistem ortografi tertentu”. Banyak aspek
bahasa lisan seperti nada, tekanan irama serta beberapa aspek lainya tidak
dapat direpresentasikan dalam tulisan. Begitu juga halnya dengan aspek fisik,
seperti gerak tangan, tubuh, kepala, wajah, yang mengiringi bahasa lisan tidak
dapat diwujudkan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, dalam mengemukakan
gagasan secara tertulis, penulis perlu menggunakan bentuk tertentu.
Betuk-bentuk tersebut, seperti dikemukakan
oleh Semi (2003, hlm. 29) bahwa “secara umum karangan dapat dikembangkan dalam empat
bentuk yaitu narasi, ekposisisi, deskripsi, dan argumentasi”.
a.
Narasi
Karangan narasi
(berasal dari naration berarti
bercerita) adalah suatu bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan,
dan merangkaikan tindak tanduk perbuatan
manusia dalam sebuah peristiwa
secara kronologis atau berlangsung dalam suatu kesatuan waktu (Finoza, 2004, hlm. 202).
Narasi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan waktu dengan maksud
menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan peristiwa yang
biasanya memuncak pada kejadian utama (Widyamartaya, 1992, hlm. 9-10).
Menurut Semi (2003, hlm. 29), “narasi merupakan betuk percakapan atau tulisan yang
bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman
manusia dari waktu ke waktu”.
Selanjutnya, Keraf
(1987, hlm. 136)
mengatakan karangan narasi merupakan:
Suatu bentuk
karangan yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkai
menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat
juga dirumuskan dengan cara lain; narasi adalah suatu bentuk karangan yang
berusaha mengambarkan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang
telah terjadi.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, secara sederhana narasi merupakan cerita. Pada
narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam suatu urutan waktu. Di dalam
kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik.
Dalam menulis,
penulis dituntut mampu membedakan antara narasi dan deskripsi. Narasi mempunyai
kesamaan dengan deskripsi, yang membedakannya adalah narasi mengandung
imajinasi dan peristiwa atau pengalaman lebih ditekankan pada urutan
kronologis. Sedangkan deskripsi, unsur imajinasinya terbatas pada penekanan
organisasi penyampaian pada susunan ruang sebagai mana yang diamati, dirasakan,
dan didengar. Oleh karena itu, penulis perlu memperhatikan unsur latar, baik
unsur waktu maupun unsur tempat. Dengan
kata lain, pengertian narasi itu mencakup dua unsur, yaitu perbuatan dan
tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.
b.
Eksposisi
Kata ekposisi
dipungut dari kata bahasa Inggris exposition
sebenarnya berasal dari kata bahasa latin yang berarti membuka atau memulai (Finoza, 2004, hlm. 204).
Menurut Widyamartaya (1992, hlm. 9-10), ekposisi
bertujuan menyampaikan gagasan yang berupa fakta atau hasil-hasil pemikiran
dengan maksud untuk memberitahu atau menerangkan sesuatu seperti masalah, manfaat, jenis,
proses, rencana, atau langkah-langkah. Jadi, ekposisi adalah tulisan yang
bertujuan menjelaskan atau memberikan informasi tentang sesuatu.
Sehubungan dengan
hal di atas, pada dasarnya ciri-ciri narasi sama dengan ciri-ciri yang dimiliki
oleh deskripsi dan argumentasi. Adapun ciri-ciri karangan ekposisi menurut Semi (2003,
hlm. 37), yaitu:
1)
Berupa tulisan yang memberikan
pegertian dan pengetahuan;
2)
Menjawab pertanyaan tentang apa,
mengapa, kapan, dan bagaimana;
3)
Disampaikan dengan lugas dengan
bahasa baku;
4)
Menggunakan dengan nada netral,
tidak memihak, dan memaksakan sikap penulis terhadap pembaca.
Adapun ciri-ciri
karangan ekposisi menurut Keraf (1982,
hlm. 4-5), yaitu:
(a) Ekposisi hanya berusaha menjelaskan atau menerangkan suatu pokok persoalan,
(b) Keputusan suatu ekposisi
diserahkan kepada pembaca, (c) Gaya cerita ekposisi lebih cenderung berisi informatif, (d) Fakta yang dipakai
dalam suatu ekposisi hanya sebagai alat kontrasasi, yaitu rumusan kaidah yang
dibuat itu lebih konkret.
Berdasarkan ciri
karangan ekposisi tersebut, hanya berusaha menyampaikan sesuatu
pemberitahuan, pengetahuan tanpa mempengaruhi minat dan sikap pembaca,
Pembaca diberi kesempatan untuk menerima, memutuskan atau menolak tentang
sesuatu yang diuraikan penulis. Gaya penyampaiannya cenderung bersifat
informatif, artinya penulis juga memberikan penjelasan untuk gagasan, sehingga
pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang sesuatu yang dimaksudkan dari
gagasan tersebut.
Pemberian informasi
penjelasan melalui karangan ekposisi hanya bersifat menguraikan dan memberi
pengenalan lanjutan bagi pembaca dan bukan merupakan suatu pembuktian.
Penggunaan bahasa dalam karangan ini tidak dipengaruhi oleh unsur subjektifitas
dan emosional. Penulis hanya menjelaskan apa adanya dan tidak membubui dengan
kata-kata yang menarik minat dan emosi pembaca. Penggunaan kosakata cenderung
bermakna denotatif.
Karangan ekposisi
berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik. Tujuan utama karangan ini
adalah memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk mencapai
tujuan yang diharapkan, pola
pengembangan karangan ekposisi biasanya dikembangkan dengan susunan logis dengan
pola pengembangan gagasan seperti definitif, klasifikasi, ilustrasi,
perbandingan dan pertentangan, dan analisis fungsional (Semi, 2003, hlm. 37).
Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal atau keadaan sehingga pembaca
seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut.
Berdasarkan uaraian di atas,
dapat dijelaskan bahwa jenis
karangan ekposisi dapat berupa kisah perjalanan, pemaparan suatu peristiwa atau
kejadian, bentuk struktur dan tugas organisasi atau laporan kegiatan. Untuk
memperjelas uraian, karangan ini dapat dilengkapi dengan grafik atau gambar.
c.
Deskripsi
Deskripsi diambil
dari bahasa Inggris yaitu description. Kata ini berhubungan dengan verba
to describe (melukis dengan bahasa). Dalam bahasa latin, deskripsi dikenal
dengan describere yang berarti
’menulis tentang’ membeberkan sesuatu hal, melukis sesuatu hal (Finoza, 2004, hlm. 197-198).
Deskripsi adalah tulisan yang tujuannya memberikan perincian atau detail
tentang objek sehingga dapat memberi pengaruh pada sentivitas dan imajinasi pembaca
atau pendengar bagaikan mereka ikut melihat, mendengar, merasakan, atau
mengalami langsung objek tersebut (Semi, 2003, hlm. 41).
Deskripsi bertujuan
menyampaikan sesuatu hal dalam urutan atau rangka ruang dengan maksud untuk
menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca segala sesuatu yang dilihat,
didengar, dicecap, diraba, atau dicium oleh pengarang. (Widyamartaya, 1992, hlm. 9-10).
Jadi, deskripsi adalah bentuk tulisan yang bertujuan memperluas pengetahuan dan
pengalaman pembaca dengan jalan melukiskan hakikat objek yang sebenarnya.
Supaya karangan ini
sesuai dengan penulisannya, diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang
dimaksud adalah pendekatan realistis dan pendekatan impresionistis. Penulis
ditutut memotret hal atau benda seobjektif mungkin sesuai dengan keadaan yang
dilihatnya, dinamakan pendekatan realistis. Sebaliknya, pendekatan
impresionistis adalah pendekatan yang
berusaha menggambarkan sesuatu secara subjektif
(Finoza, 2004, hlm. 197-198).
Menurut Semi (2003, hlm. 41),
deskripsi ini merupakan ekposisis juga, sehingga ciri umum yang dimiliki oleh
ekposisi pada dasarnya dimiliki pula oleh deskripsi. Lebih lanjut, Semi (2003, hlm. 41)
mengatakan bahwa ciri-ciri deskripsi yang sekaligus sebagai pembeda dengan
ekposisi adalah sebagai berikut.
1)
Deskripsi lebih
berupaya memperlihatkan detail atau perincian tentang objek.
2)
Deskripsi lebih
bersifat memberi pengaruh sensitivitas dan membentuk imajinasi pembaca.
3)
Deskripsi
disampaikan dengan gaya yang nikmat dengan pilihan kata yang menggugah; sedangkan
ekposisi gayanya lebih lugas.
4)
Deskripsi lebih
banyak memaparkan tentang sesuatu yang dapat didengar dilihat, dan dirasakan
sehingga objeknya pada umumnya berupa benda, alam, warna, dan manusia.
5)
Organisasi
penyampaiannya lebih banyak menggunakan susunan ruang (spartial order).
Di antara ciri-ciri
tersebut yang tidak dimiliki oleh ekposisi adalah gaya yang indah dan memikat
sehingga memancing sesitivitas dan imajinasi pembaca atau pendengar. Ada pula
deskripsi yang disampaikan dengan bahasa yang lugas dan juga tidak memancing
sensitivitas pembaca, tapi menekankan pada perincian atau detail dengan
mengajukan pembuktian atau banyak contoh (misalnya deskripsi tentang
keadaan ruang praktik atau deskripsi
tentang keadaan daerah yang dilanda tsunami). Oleh sebab itu, karangan
deskripsi dibagi atas dua, yaitu deskripsi ekpositoris (deskripsi teknis) dan
deskripsi artistik (disebut juga deskripsi literer, impresionistik, atau
sugestif) (Semi, 2003, hlm. 43).
d.
Argumentasi
Argumentasi adalah
tulisan yang bertujuan menyakinkan atau membujuk pembaca tentang pendapat atau
penyataan penulis (Semi, 2003, hlm. 47). Menurut Widyamartaya (1992, hlm. 9-10),
argumentasi bertujuan menyampaikan gagasan berupa data, bukti hasil penalaran,
dan sebagainya dengan maksud untuk menyakinkan pembaca tentang kebenaran
pendirian atau kesimpulan pengarang atau untuk memperoleh kesepakatan pembaca
tentang maksud pengarang. Tujuan utama karangan ini adalah untuk menyakinkan
pembaca agar menerima atau mengambil suatu dokrin, sikap, dan tingkah laku
tertentu. Adapun ciri-ciri karangan narasi menurut Finoza (2004, hlm. 207),
yaitu:
1)
Mengemukakan alasan atau
bantahan sedemikian rupa dengan tujuan mempengaruhi keyakinan pembaca agar
menyetujuinya;
2)
Mengusahakan suatu pemecahan
masalah; dan
3)
Mendiskusikan suatu persoalan
tanpa perlu mencapai suatu penyelesaian.
Menurut Semi (2003, hlm. 48),
ciri-ciri pengembangan karangan argumentasi-sekaligus merupakan juga ciri
pembeda dengan ekposisi adalah sebagai
berikut:
1)
Bertujuan menyakinkan orang lain
(ekposisi memberi informasi);
2)
Berusaha membuktikan suatu
penyataan atau pokok persoalan (ekposisi hanya menjelaskan);
3)
Menggugah pendapat pembaca
(ekposisi meyerahkan keputusan kepada pembaca); dan
4)
Fakta yang ditampilkan merupakan
bahan pembuktian (ekposisi menggunakan fakta sebagai alat mengkongkretkan).
Berdasarkan
pendapat di atas, argumentasi merupakan karangan yang berusaha menjelaskan
suatu masalah dengan menyajikan alasan-alasan. Ketika mengembangan karangan
ini, Penulis harus menganalisis dan menjelaskan suatu masalah secara terperinci
dan mendalam, alasan-alasan yang dikemukakan harus didukung dengan bukti-bukti
yang menyakinkan. Dengan kata lain, argumen adalah suatu proses bernalar.
Pengarang dapat dapat menggunakan penalarannya dengan metode deduktif induktif.
Deduktif merupakan metode benalar yang bergerak dari hal-hal yang bersifat umum
ke hal-hal atau pernyataan yang bersifat khusus. Sebaliknya, induktif adalah
metode benalar yang dimulai dengan mengemukakan penyatan yang bersifat khusus kemudian
diiringi dengan kesimpulan umum.
Pengarang dapat mengajukan penalarannya berdasarkan contoh-contoh,
analogi, akibat ke sebab, sebab ke akibat,
dan pola-pola deduktif ke
induktif.
Argumentasi dan
ekposisi merupakan bentuk atau jenis tulisan yang paling banyak digunakan di
dalam tulisan-tulisan ilmiah. Karangan ini bertujuan membuktikan kebenaran
suatu pendapat atau kesimpulan dengan
data atau fakta sebagai alasan atau
bukti. Dalam karangan ini, pengarang mengharapkan pembenaran pendapatnya
dari pembaca. Adanya unsur opini dan data, juga fakta atau alasan merupakan
penyokong opini tersebut.
B. Pendekatan Pembelajaran
Kontekstual
1. Pengertian CTL
Pendekatan kontekstual menempatkan siswa
dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi
yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual
siswa dan peran guru. Contextual Learning (CTL)
adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak
yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan kehidupan
sehari-hari siswa (Johnson, 2006,
hlm. 65).
Hull‟s dan Sounders (dalam Komalasari, 2013, hlm. 6) menjelaskan bahwa
didalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan penuh makna antara
ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dunia nyata. Siswa menyangkutkan
konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual
menghendaki kerja sebuah tim, misalnya di sekolah, di tempat kerja, maupun di
rumah. Pembelajaran
kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan
beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Sedangkan menurut Sa’ud (2006, hlm. 38) CTL adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh
untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupannya.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah
suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hasil pembelajaran diharapkan
lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis, dan
melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka
panjangnya (Nurhadi, dkk., 2004, hlm.
4).
Berdasarkan beberapa definisi
pembelajaran kontekstual di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual
merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi yang telah
dipelajari dengan kehidupan nyata yang sehari-harinya dialami oleh siswa, baik
di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat yang pada akhirnya bertujuan
untuk menemukan arti dan makna materi yang telah dipelajari bagi kehidupan
siswa sehari-hari.
2. Komponen-komponen CTL
Menurut Nurhadi (2002, hlm. 9) pendekatan CTL
memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry),
bertanya (questioning), masyarakat
belajar (learning community), pependekatanan
(pendekatanling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Berikut
penjelasan komponen-komponen pendekatan CTL tersebut.
a.
Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan
CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) bukan secara
tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat kata-kata, konsep, atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus
dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan menerima pengetahuan. Dalam
proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat
kegiatan bukan guru. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan
pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam
pandangan kontruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan, untuk itu tugas
guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan (1) menjadikan pengetahuan
yang relevan dan bermakna bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan
dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan
strategi mereka sendiri dalam belajar.
b.
Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pendekatan pembelajaran
berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta–fakta, tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan, apapun materi yang diajarkan.
Siklus
inkuiri meliputi tahapan yaitu :
(1)
Observasi (observation),
(2)
Bertanya (questioning),
(3)
Mengajukan dugaan (hiphotesis),
(4)
Mengumpulkan data (data gathering),
(5)
Penyimpulan (conclusion).
Langkah-langkah kegiatan
menemukan (inkuiri) meliputi:
(1)
Merumuskan masalah
(dalam mata pelajaran apapun);
(2)
Mengamati atau
melakukan observasi;
(3)
Menganalisis dan
menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya
lainnya;
(4)
Mengkomunikasikan atau
menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.
c.
Bertanya (Questioning)
Questioning
(bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya
dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,
dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan
bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu
menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam sebuah pembelajaran yang
produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
(1)
Menggali informasi,
baik administrasi maupun akademis;
(2)
Mengecek pemahaman
siswa;
(3)
Membangkitkan respon
kepada siswa;
(4)
Mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa;
(5)
Mengetahui hal-hal yang
sudah diketahui siswa;
(6)
Memfokuskan perhatian
siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
(7)
Membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan
(8)
Menyegarkan kembali
pengetahuan siswa.
Questioning
dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara
siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas,
dan sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi,
bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan
sebagainya.
d.
Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning
community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok,
dan antara yang tahu dengan yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong
temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan
seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan,
jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan
kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.
Masyarakat belajar terjadi apabila ada
proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat
belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus
juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Pendekatan pembelajaran dengan teknik learning community
ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran
terwujud berupa :
(1)
Pembentukan kelompok
kecil;
(2)
Pembentukan kelompok
besar;
(3)
Mendatangkan ahli ke
kelas (tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi,
polisi, dsb.);
(4)
Bekerja dengan kelas
sederajat;
(5)
Bekerja kelompok dengan
kelas di atasnya;
(6)
Bekerja dengan
masyarakat.
e.
Pendekatan (Approaching)
Dalam pendekatan CTL guru bukan
satu-satunya pendekatan. Pendekatan dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara menggunakan alat
peraga. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai pendekatan. Pendekatan juga dapat
didatangkan dari luar.
f.
Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang
apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah
kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian,
aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari
proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran,
yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu
siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
dengan pengetahuan yang baru.
Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan
waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa :
(1)
Pernyataan langsung
tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu;
(2)
Catatan atau jurnal di
buku siswa;
(3)
Kesan dan saran siswa
mengenai pembelajaran itu;
(4)
Diskusi; dan
(5)
Hasil karya.
g.
Penilaian yang
Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa. Apabila data
yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan
belajar, maka guru segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas
dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan
di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment
tidak dilakukan di akhir periode
pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (US / UN), tetapi
dilakukan bersama secara integral tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari
informasi tentang belajar siswa.
Pembelajaran yang benar memang
seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan
pada diperolehnya pada sebanyak mungkin informasi di akhir periode
pembelajaran. Karena assessment
menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari
kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan melulu hasil. Penilaian autentik
menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Dengan
demikian sebagai penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang
lain.
3. Karakteristik
Pembelajaran CTL
Suyitno (2004, hlm. 32-33) mengemukakan
tentang karakteristik pendekatan pembelajaran
CTL, bahwa dalam proses pembelajaran CTL harus nampak beberapa ciri-ciri,
yaitu:
(1) antar siswa perlu kerja sama; (2) saling
menunjang; (3) menyenangkan dan tidak membosankan; (4) belajar dengan
gairah/minat yang tinggi; (5) terintegrasi; (6) menggunakan berbagai sumber;
(7) siswa aktif; (8) sharing dengan
teman; (9) siswa kritis dan guru kreatif; (10) dinding kelas dan lorong-lorong
penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, artikel, humor, dan lain-lain; (11)
laporan kepada orang tua bukan hanya raport, tetapi juga hasil karya siswa,
hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain, dikemas dalam portopolio; dan
(12) menggunakan penilaian sebenarnya.
Pendapat lain mengenai
karakteristik pendekatan pembelajaran kontekstual dikemukakan oleh Sanjaya
(2006, hlm. 254) dengan lima
karakteristik pembelajarannya yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran keterampilan menulis, yaitu:
(1) pengaktifan pengetahuan yang ada (activating knowledge); (2) pemerolehan
pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara keseluruhan kemudian
memperhatikan detailnya (acquiring
knowledge); (3) pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge) dengan cara menyusun
konsep sementara, meminta tanggapan atau pendapat orang lain, dan merevisi
serta mengembangkan konsep tersebut; (4) mempraktikkan pengetahuan dan
pengalaman (applying knowledge); dan
(5) melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan (reflecting knowledge).
Dari beberapa pendapat di atas
mengenai karakteristik pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dikemukakan
bahwa konteks riil proses pembelajaran menulis karangan harus memunculkan unsur-unsur
yang secara langsung maupun tidak langsung dalam pendekatan pembelajaran kontekstual, antara
lain unsur kerjasama, saling menunjang, pengaktifan pengetahuan, aplikasi serta
refleksi dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
4.
Kelemahan dan Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Contextual
Teaching Learning (CTL)
Setiap pendekatan pendekatan pembelajaran yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, tidak lepas dari kelebihan dan
kekurangan dari jenis pendekatan yang digunakan tersebut, begitu pula dengan
pendekatan CTL Berikut dipaparkan kelebihan dan kekurangan dari pendekatan
CTL/.
a.
Kelebihan CTL (Contextual Teaching and Learning)
Menurut Anisah (2009, hlm. 1) ada 2 (dua) kelebihan pendekatan
pembelajaran kontekstual, yaitu :
1)
Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan
riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan
dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukansaja
bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah
dilupakan.
2)
Pembelajaran lebih produktif dan mampu
menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL
menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kelebihan pendekatan pembelajaran CTL adalah aktivitas siswa lebih aktif dalam
proses kegiatan pembelajaran
dan pengetahuan siswa berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, sedangkan guru hanya bersifat sebagai fasilitaror dalam
kegiatan pembelajaran tersebut.
b.
Kelemahan CTL (Contextual Teaching and Learning)
Menurut Anisah (2009, hlm. 1) kelemahan pendekatan pembelajaran CTL
antara lain :
1)
Guru lebih intensif dalam membimbing
karena dalam pendekatan CTL, guru
tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan
ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.
2)
Peran guru bukanlah sebagai instruktur
atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa
agar mereka dapat belajar sesuai dengan
tahap perkembangannya.
3)
Guru memerlukan perhatian dan bimbingan
yang eksra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang
diterapkan semula.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kelemahan pendekatan
pembelajaran contextual
teaching learning (CTL)
adalah guru harus dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya agar
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tecapai dengan maksimal.
5. Metode
Resitasi
a.
Pengertian
Metode Resitasi
Kata
resitasi bukanlah kata Indonesia asli tetapi merupakan kata serapan dari bahasa
Inggris yaitu “Recitation” yang berarti menceritakan kembali. Setelah
istilah tersebut masuk ke Indonesia dan diterima maka timbullah bermacam-macam pengertian
bertolak dari pikiran yang menafsirkannya.
Karo-Karo
(1981, hlm. 39), menyatakan bahwa
“Resitasi atau recitation adalah penyajian kembali apa yang dimiliki,
diketahui atau dipelajari. Sedangkan menurut Sumantri dan Permana (2001, hlm. 130) mengemukakan bahwa: “Metode
pemberian tugas atau penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar
mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan peserta
didik di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok”.
Pendapat yang sama tentang metode penugasan sebagimana
dikemukakan oleh Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2006, hlm. 85) bahwa metode resitasi
(penugasan) adalah “metode penyajian dimana guru
memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar”.
Terdapat
pengertian lain dari metode resitasi yaitu yang dijelaskan oleh Mulyasa (2007, hlm. 113) bahwa “metode
penugasan merupakan cara penyajian bahan pelajaran, dimana guru memberikan
seperangkat tugas yang harus dikerjakan siswa, baik secara individual maupun
secara kelompok”.
Dari
beberapa pendapat di atas tentang metode resitasi (penugasan)
dapat dikemukakan, bahwa metode
resitasi adalah suatu metode pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru setelah menjelaskan suatu
pokok bahasan atau materi dan akhirnya dari tugasnya itu siswa dituntut untuk
melaporkan hasilnya. Dari tugas yang diberikan, siswa mendapatkan umpan balik
dari guru yaitu setelah siswa selesai mengerjakan tugas-tugasnya kemudian
soal-soal itu dibahas/dikoreksi bersama-sama serta beberapa siswa sebagai bentuk tanggung jawabnya diberi
kesempatan untuk mengerjakan hasil tugas
tersebut di depan kelas. Laporan hasil belajar
siswa ini berupa nilai yang harus dilaporkan kepada guru, dengan demikian
mereka akan lebih termotivasi untuk belajar.
b.
Kelebihan
dan Kekurangan
Metode Resitasi
Sebagaimana
metode pembelajaran yang lain, metode resitasi (penugaan) mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Adapun beberapa kelebihan dari metode resitasi menurut
Sumantri dan Permana (2001, hlm. 131), yaitu:
(1) Membuat peserta didik aktif belajar, (2)
Merangsang peserta didik belajar lebih banyak, baik pada saat dekat dengan guru
maupun pada saat jauh dari guru di dalam sekolah maupun di luar sekolah, (3)
Mengembangkan kemandirian peserta didik, (4) Lebih meyakinkan tentang apa yang
dipelajari dari guru, lebih memperdalam, memperkaya atau memperluas tentang apa
yang dipelajari, (5) Membina kebiasaan peserta didik untuk mencari dan mengolah
sendiri informasi dan komunikasi, (6) Membuat peserta didik bergairah belajar
karena dapat dilakukan dengan bervariasi, (7) Membina tanggung jawab dan
disiplin peserta didik, dan (8) Mengembangkan kreativitas peserta didik.
Sedangkan menurut
Djamarah dan Zain (2006, hlm. 87), kelebihan
dari metode resitasi, yaitu: 1) Lebih
merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok, 2) Dapat
mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan guru, 3) Dalam
membina tanggung jawab dan disiplin siswa,
dan 4) Dapat
mengembangkan kreativitas
siswa”.
Sejalan dengan
pendapat di atas tentang kelebihan metode resitasi, Sumantri dan Permana (1999, hlm. 52) mengemukakan bahwa:
(1) Metode pemberian tugas dapat membuat siswa aktif belajar, (2) Tugas lebih merangsang siswa untuk lebih banyak, baik
waktu dikelas maupun diluar kelas atau dengan lain, baik siswa dekat dengan
guru maupun jauh dengan guru, (3) Metode ini dapat mengembangkan kemandirian siswa yang diperlukan dalam
kehidupannya, (4) Tugas lebih
meyakinkan tentang apa yang akan dipelajari dari guru, lebih memperdalam,
memperkaya, atau memperluas pandangan tentang apa yang dipelajari, (5) Tugas dapat membina kebiasaan siswa untuk mencari dan
mengelola sendiri informasi dan komunikasi, (6) Metode ini dapat membuat siswa bergairah dalam belajar
karena kegiatan-kegiatan belajar dapat dilakukan dengan berbagai variasi
sehingga tidak membosankan, (7) Metode ini dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa, dan (8) Metode ini dapat mengembangkan kreativitas siswa.
Adapun
kekurangan metode resitasi menurut Surakhmad (1997, hlm. 91)
mengemukakan sebagai berikut:
1)
Siswa sering melakukan penipuan dimana
siswa hanya meniru atau menyalin hasil pekerjaan orang kain tanpa mengalami
peristiwa belajar;
2)
Adakalanya tugas ini dikerjakan oleh
orang lain tanpa pengawasan;
3)
Apabila tugas terlalu sering diberikan,
apalagi tugas-tugas tersebut sukar dikerjakan siswa, ketenangan mental mereka
dapat terpengaruh, dan
4)
Sukar memberikan tugas yang memenuhi
perbedaan individual.
Sedangkan menurut
Djamarah dan Zain (2006, hlm. 87), ada beberapa kekurangan metode resitasi antara lain:
1)
Siswa sulit
dikontrol, apakah benar dia yang mengerjakan tugas ataukah orang lain, 2) Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif
mengerjakan dan menyelesaikannya adalah anggota tertentu saja, sedangkan
anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik, 3) Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan
individu siswa, 4) Sering memberikan
tugas yang menonton (tak bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa, 5) Seringkali anak didik melakukan penipuan dimana anak
didik hanya menitu hasil pekerjaan orang lain tanpa mau bersusah payah
mengerjakan sendiri, dan 6) Terkadang tugas itu
dikerjakan orang lain tanpa pengawasan.
Penggunaan metode resitasi
akan efektif dan berhasil baik apabila ada upaya untuk mengatasi kekurangan
dari metode tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan guru untuk
mengefektifkan metode resitasi agar berhasil dengan baik antara lain:
1)
Untuk menghindari
penipuan yang dilakukan siswa, guru dapat menyuruh siswa untuk mengerjakan
tugas ke depan kelas, sehingga guru dapat menilai tingkat pemahaman siswa, atau
dengan cara pengecekan keliling sehingga guru dapat memantau pekerjaan siswa.
2)
Untuk menghindari tugas
siswa yang dikerjakan orang lain, guru dapat memperbanyak tugas di sekolah
daripada tugas di rumah.
3)
Tugas-tugas yang
diberikan terbatas dan jelas pada apa yang menjadi masalah atau yang perlu
dipecahkan.
4)
Memberikan tugas dengan
memperhitungkan taraf kesukaran soal dengan kemampuan siswa.
c
Penerapan
Metode Resitasi dalam Pembelajaran
Tujuan
dari pemberian tugas ini adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap
materi yang diajarkan. Dengan kegiatan melaksanakan tugas, siswa akan aktif
belajar dan terangsang untuk meningkatkan belajar. Banyaknya tugas yang harus
dikerjakan siswa, diharapkan mampu menyadarkan siswa untuk memanfaatkan waktu
senggang untuk hal-hal yang menunjang belajarnya.
Tampaknya pemberian tugas
kepada siswa untuk diselesaikan di rumah, di laboratorium maupun di
perpustakaan cocok dalam hal ini, karena dengan tugas ini akan merangsang siswa
untuk melakukan latihan-latihan atau mengulangi materi pelajaran yang baru
didapat di sekolah atau sekaligus mencoba ilmu pengetahuan yang telah
dimilikinya, serta membiasakan diri siswa mengisi waktu luangnya di luar jam
pelajaran. Dengan sendirinya telah berusaha memperdalam pemahaman serta
pengertian tentang materi pelajaran. Setelah siswa
selesai melaksanakan tugas yang diberikan, mereka harus mempertanggungjawabkan
hasil yang telah mereka peroleh seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Menurut Hudoyo (1990,
hlm. 5) dikatakan bahwa teori stimulus-respon (S-R) dari Thorndike mendukung dalam hal ini, yaitu:
Prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S diberikan kepada obyek maka
terjadilah R. Dengan latihan, asosiasi antara S dan R menjadi otomatis. Lebih
sering asosiasi antara S dan R digunakan makin kuatlah hubungan yang terjadi,
makin jarang hubungan S dan R dipergunakan makin lemahlah hubungan itu.
Berikut
ini tahap-tahap pelaksanaan
metode resitasi dalam pembelajaran,
seperti dikemukakan oleh Surakhmad
(1997, hlm. 91) sebagai berikut:
1)
Guru memberikan tugas.
2)
Siswa melaksanakan
tugas (belajar).
3)
Siswa
mempertanggungjawabkan kepada guru apa yang telah mereka pelajari.
Dalam
tahap pemberian tugas pada pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan metode
resitasi, ada beberapa hal penting yang
perlu diperhatikan yaitu:
1)
Tujuan yang jelas
Agar
hasil belajar siswa memuaskan, guru perlu merumuskan tujuan yang jelas yang
akan dicapai siswa.
Sifat dari tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Merangsang agar siswa
berusaha lebih baik dan memupuk
inisiatif.
b)
Bertanggung jawab dan
berdiri sendiri.
c)
Membawa
kegiatan-kegiatan sekolah kepada minat siswa yang terluang.
d)
Memperkaya pengalaman-pengalaman
sekolah melalui
kegiatan-kegiatan di luar sekolah.
e)
Memperkuat hasil
belajar di sekolah dengan menyelenggarakan latihan-latihan.
2)
Petunjuk-petunjuk yang
jelas.
Tugas
yang harus dilakukan oleh siswa harus jelas. Guru harus menjelaskan aspek-aspek
yang perlu dipelajari siswa, agar siswa tidak merasa bingung mana yang harus
dipentingkan. Adapun langkah-langkah
agar siswa memahami dalam
tahap pelaksanaan tugas yang diberikan
guru, yaitu:
a)
Diberikan
bimbingan/pengawasan oleh guru.
b)
Diberikan dorongan
sehingga siswa mau bekerja.
c)
Diusahakan/dikerjakan
oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain.
d)
Dianjurkan agar siswa
mencatat hasi-hasil yang diperoleh dengan baik dan sistematis.
e)
Setelah siswa selesai
melaksanakan tugas yang diberikan, mereka harus mempertanggungjawabkan hasil
yang telah mereka peroleh seperti yang telah dikemukakan di depan.
6. Pendekatan Kontekstual melalui Metode Resitasi dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis
Keterampilan menulis mempunyai peran
yang sangat penting dalam kehidupan. Namun demikian, pembelajaran menulis di
sekolah-sekolah ternyata belum endapat tempat yang cukup. Pembelajaran menulis
hanya mendapat porsi waktu yang sedikit dibandingkan dengan pembelajaran
kebahasaan yang lainnya. Selain itu, guru hanya berorientasi untuk melihat
hasil tulisan siswa tanpa membelajarkan proses menulis pada siswa. Akhirnya,
tujuan pembelajaran menulis hanya mengarah pada pencapaian kemampuan menulis
siswa (Kusmiatun, 2005, hlm. 133).
Pembelajaran menulis dikaitkan dengan
konteks kehidupan peserta didik, agar memungkinkan mereka belajar menerapkan
isi pembelajaran dalam pemecahan problema yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari (Wagiran, 2005, hlm. 172).
Pembelajaran keterampilan menulis dengan pendekatan kontekstual berorientasi
pada keterampilan menulis sebagai suatu proses. Pembelajaran keterampilan
menulis yang berorientasi pada proses memiliki langkah-langkah sebagaimana yang
telah disebutkan oleh Douglas (1994,
hlm. 335-336), yakni: (1) pusatkan perhatian
pada proses menulis yang mengarah pada hasil akhir; (2) bantulah para siswa
untuk memahami proses menulis mereka; (3) bantulah mereka untuk membuat
judul-judul strategi tahapan pramenulis (prewriting),
membuat konsep (drafting), dan
menulis kembali (rewriting); (4)
berikan waktu pada siswa untuk menulis (write)
dan menulis kembali (rewrite); (5)
letakkan kepentingan utama pada proses revisi; (6) biarkan siswa menemukan apa
yang ingin mereka katakan ketika mereka menulis; (7) berikanlah pada siswa
umpan balik melalui proses mengarang (bukan hanya hasil akhir) ketika mereka
berusaha mengungkapkan perasaan yang semakin dekat dengan tujuan; (8) dapatkan
umpan balik dari guru dan teman-teman mereka; (9) adakan diskusi individual
antara guru dan siswa selama proses menulis.
Adapun langkah-langkah atau tahapan
pendekatan pembelajaran kontekstual meliputi empat tahap, yaitu:
a)
Tahap invitasi, siswa
didorong agar mengemukakan pengetahuan awal tentang konsep yang dibahas. Bila
perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan problematik tentang kehidupan
sehari-hari, melalui kaitan konsep-konsep yang dibahas dengan pendapat mereka
sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengikutsertakan
pemahaman tentang konsep yang dibahas.
b)
Tahap eksplorasi, siswa
diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan,
pengorganisasi, penginterpretasikan data dalam sebuah kegiatan yang telah
dirancang guru. Secara berkelompok siswa melakukan kegiatan diskusi tentang
masalah yang dibahas. Tahap ini akan memenuhi rasa ingin tahu tentang fenomena
kehidupan nyata di luar alam sekitar.
c)
Tahap penjelasan atau
solusi, pada saat siswa memberikan penjelasan solusi yang didasarkan pada hasil
observasinya ditambah dengan penguatan dari guru, membuat pendekatan, dan
membuat rangkuman serta ringkasan hasil pekerjaan.
d)
Tahap pengambilan
tindakan, siswa dapat membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan
keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan,
mengajukan saran secara individual maupun secara kelompok yang berhubungan
dengan pemecahan masalah.
Suyitno (2004, hlm. 33) mengungkapkan ada 7
langkah yang perlu ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran, yaitu :
(1) Kembangkan
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
barunya; (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik; (3)
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya; (4) Ciptakan ‘masyarakat
belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok);
(5) Hadirkan ‘pendekatan’ sebagai contoh pembelajaran; (6) Lakukan refleksi
diakhir pertemuan; dan (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai
cara.
Dari pendapat di atas mengenai
langkah-langkah pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dikemukakan bahwa
pada proses pembelajaran anak cenderung untuk diarahkan pada kemandirian dalam
memperoleh berbagai informasi yang dipersyaratkan dalam proses pembelajaran
tersebut. Dengan menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual, secara
bertahap dan berkesinambungan akan menuju pada proses kemandirian sesuai dengan
realita yang ada.
C.
Hasil Penelitian
yang Relevan
Berdasarkan studi terhadap
beberapa hasil penelitian, secara umum diperoleh gambaran bahwa pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan kontekstual yang dilaksanakan di Sekolah Dasar (SD),
memberikan hasil yang positif, baik pada aspek aktivitas maupun hasil belajar siswa.
Berikut dipaparkan
beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian penulis.
1. Penelitian relevan
pertama
Faozie,
Anne Widianti (2013) dengan judul penelitian “Peningkatan Kemampuan Memahami
Paragraf dalam Wacana Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Pembelajaran
Kontekstual bagi Siswa Kelas VI A SDN Jatayu Bandung”.
Penelitian
ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa bagaimanakah penerapan pendekatan
kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa dalam memahami paragraf
dalam wacana Bahasa Indonesia di SDN Jatayu Bandung. Sejauh ini pendidikan kita
masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta
yang harus dihafal. Pembelajaran di kelas masih berfokus pada guru sebagai
sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi
belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar 'baru' yang lebih
memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa
menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Tujuan kegiatan
penelitian dalam peningkatan kemampuan memahami paragraf dalam wacana bahasa
indonesia melalui pendekatan pembelajaran kontekstual bagi siswa kelas VI A SDN
Jatayu Bandung adalah: 1) Untuk
memperoleh gambaran obyektif tentang kemampuan siswa kelas VI A pada pelajaran
Bahasa Indonesia tentang konsep memahami paragraf dengan menggunakan pendekatan
kontekstual. 2) Untuk mengetahui tentang pelaksanaan aktivitas guru dan siswa
kelas VI A yang ditemukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan
menggunakan pendekatan konstektual. 3) Untuk mengatahui hasil belajar siswa
setelah menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
Penelitian ini dilakuakan di SDN Jatayu Bandung dengan metode Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus
pertama dilaksanakan dalam dua tindakan dan siklus yang kedua satu tindakan.
Setiap siklus dimulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan hasil
penelitian, pembahasan, dan refleksi. Hasil pelaksanaan penelitian terlihat
pada pelaksanaan Siklus I dan II yang menunjukkan kemampuan siswa yang
mengalami perkembangan yang lebih baik. Kemampuan siswa pada siklus I hanya
mencapai nilai rata-rata 85, 18, sedangkan pada siklus ke II meningkat menjadi
90,26. Hasil penelitian membuktikan bahwa pembelajaran kontekstual yang telah
dilaksanakan berhasil dan sangat berkesan, siswa dan guru bersikap positif
terhadap pelaksanaan pembelajaran. Inovasi dalam pembelajaran dengan memasukkan
strategi kontekstual dapat meningkatkan minat dan kemapuan hasil belajar pada
siswa. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi motivasi bagi para guru untuk
lebih berinovasi dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran yang aktif,
inovatif kreatif, dan menyenangkan lainnya.
2.
Penelitian relevan
kedua
Pajrina,
Putri Nur (2013) dengan judul penelitian “Meningkatkan Ketrampilan Menyimak
Cerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)”.
Penelitian ini dilatarbelakangi rendahnya
keterampilan menyimak siswa yang didukung juga dari data rekapan nilai pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia baik dari semester 1 dan 2. Hal ini ditandai
dengan banyak nilai siswa yang belum mencapai KKM yang ditetapkan yaitu 65.
Penelitian ini ditujukan pada penggunaan pendekatan contextual
teaching and learning (CTL)
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pokok bahasan menyimak cerita kemudian
siswa membuat rangkuman. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian
yang hendak dicapai adalah: (1) Perencanaan
pembelajaran Bahasa Indonesia materi menyimak cerita melalui pendekatan contextual teaching and learning (CTL),
(2) Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia materi menyimak cerita melalui pendekatan contextual teaching and learning (CTL)
dan (3) Peningkatan keterampilan menyimak cerita peserta didik pada
pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pendekatan
contextual teaching and learning (CTL).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) yang mengadaptasi pendekatan Kemmis & Mc. Taggart dengan tiga siklus
yang pada setiap siklusnya dilakukan satu kali tindakan. Subjek penelitian ini
adalah siswa kelas V Semester II SDN 4 Cibodas Lembang Kabupaten Bandung Barat
yang berjumlah 30 orang. Hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning (CTL)
pada pembelajaran Bahasa Indonesia menunjukkan adanya peningkatan proses
pembelajaran. Pada siklus I nilai rata-rata siswa mencapai 60. Pada siklus II
mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata siswa mencapai 68,17, pada siklus
II ini nilai rata-rata sudah mencapai nilai KKM yang ditetapkan yaitu 65.
Sedangkan pada siklus III mengalami peningkatan kembali dengan nilai rata-rata
siswa mencapai 73,67. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan,
dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan contextual
teaching and learning (CTL)
dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
dengan materi menyimak cerita. Berdasarkan hasil penelitian di SDN 4 Cibodas,
peneliti ingin memberikan saran kepada: (1) guru hendaknya agar lebih
meningkatkan wawasan teantang pendekatan dan strategi pembelajaran, (2) kepala
sekolah hendaknya senantiasa memberikan dukungan kepada guru untuk terus
meningkatkan pengajaran dan melakukan perbaikan-perbaikan dan (3) pihak-pihak
yang terkait dalam dunia pendidikan agar kiranya diadakan penelitian lebih
lanjut berkaitan dengan penggunaan strategi belajar pendekatan contextual teaching and learning g (CTL).
Berdasarkan
beberapa hasil penelitian terdahulu tentang penerapan pendekatan contextual teaching
and learning (CTL) pada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar,
secara nyata positif dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan siswa.
Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian yang sedang peulis kaji adalah
adanya keterkaitan tentang penerapan pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan contextual teaching
and learning (CTL). Penerapan pendekatan contextual
teaching and learning (CTL) melalui metode penugasan
yang diterapkan penulis dalam pembelajaran menulis karangan, akan berdampak
positif terjadinya peningkatan pada perencanaan, pelaksanaan, dan hasil belajar
siswa di SDN Trijaya Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan.
D.
Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan rumusan masalah, kajian
pustaka, dan hasil penelitian yang
relevan yang telah diuraikan sebelumnya, hipotesis
tindakan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: “Jika pendekatan pembelajaran CTL melalui metode
penugasan diterapkan pada pembelajaran menulis karangan, maka dapat
meningkatkan proses dan hasil belajar pada siswa kelas IV SDN Trijaya,
Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan”.
DAFTAR PUSTAKA
Anisah. (2008). Kelemahan dan
Kelebihan CTL dan Pakem. (http://anisah89.blogspot.com/2009/02/kelemahan-dan-kelebihan-ctl-dan-pakem.html. diunduh tanggal 02
Februari 2015).
Djamarah,SA
& Zain, A. (2006). Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Djuanda,
Dadan. (2007). Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Komunikatif
dan Menyenangkan. Depdiknas. Jakarta.
Douglas,
Brown, H. (2001). Teaching
by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. White Plains NY 10606: Addisson Wesley
Longman, Inc.
Faozie, Anne Widianti. (2013). Peningkatan Kemampuan Memahami
Paragraf dalam Wacana Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Pembelajaran
Kontekstual bagi Siswa Kelas VI A SDN Jatayu Bandung. Skripsi UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Hudoyo, Herman. (1990). Strategi Belajar Mengajar Matematika.
Malang: IKIP Malang.
Johnson,
Elaine B. (2011). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-mengajar Mengasyikkan
dan Bermakna. Bandung:
Kaifa.
Karo–Karo,Ulihbukit.(1981). Metodologi Pengajaran.Salatiga: CV. Saudara.
Komalasari,
Kokom. (2011). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT.
RefikaAditama.
Kusmiatun,
Ari. (2005). “Harmoni Kecerdasan Intelektual, Emosional,
dan Spiritual dalam Pembelajaran Menulis”. Menuju Budaya Menulis (Suatu Bunga
Rampai). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muchlisoh,
dkk (1992). Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta:
Depdikbud.
Nurhadi
& Senduk, A.G. (2004). Pembelajaran
Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbut UNM.
Nurhadi,
2002. Pendekatan Kontekstual (Contectual
Teaching and Learning). Malang: Universitas Malang.
Pajrina, Putri Nur. (2013). Meningkatkan Ketrampilan
Menyimak Cerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia melalui Pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL)). Skripsi UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Sumantri,
M, dan Permana J, (2001). Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Supriyadi.
(1996). Pendidikan Bahasa Indonesia 2.
Jakarta: Depdikbud.
Surakhmad,
Winarno. (1997). Pengantar Interaksi Mengajar. Bandung: Tarsito.
Suriamiharja,
Agus, dkk. (1997). Petunjuk Praktis Menulis. Jakarta:
Depdikbud.
Suyitno,
Amin. 2004. Pendekatan Pembelajaran Matematika. Semarang: Depdiknas.
Tarigan,
Henry Guntur. (1995). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Angkasa.Bandung.
Wagiran.
(2005). Implementasi Life Skill dalam Pembelajaran
Menulis. Menuju Budaya Menulis (Suatu Bunga Rampai). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
No comments:
Post a Comment